Langsung ke konten utama

APAKAH KHALIFAH HARUS QURAISY?

APAKAH KHALIFAH HARUS QURAISY?
Oleh Choirul Anam

Apakah benar bahwa Khalifah harus dari Quraisy? Permasalahan ini memang telah menjadi perbedaan (ikhtilaf) di kalangan ulama dan umat, bahkan di kalangan shahabat Nabi saw. Namun, bagi orang yang menolak Khilafah, permasalahan ini dijadikan salah satu amunisi untuk menyerang Khilafah atau bahkan sekedar untuk menyerang para pejuang Khilafah bahwa yang mereka perjuangkan tidak ada landasan dalilnya.

Memang benar, masalah ini merupakan masalah yang diperselisihkan oleh ulama. Sebagian ada yang mengatakan bahwa Khalifah harus Qurasiy, misalnya Imam Al-Mawardi di dalam kitab beliau Al-Ahkam As Sulthaniyyah Wal Wilayat ad Diniyyah. Namun sebagian lagi berpandangan bahwa Khalifah tidak harus Quraisy, meski memang lebih utama (afdhal) jika yang menjadi Khalifah adalah Quraisy.

Apa dasar hadits yang jadi rujukan para ulama yang menetapkan bahwa Khilafah itu harus Quraisy atau tidak? Dan bagaimana proses memahami dalil (istidlal) dari masing-masing ulama? Manakah diantara kedua pendapat yang lebih kuat (rajih)?
Tulisan ini akan membahas secara ringkas.

*****

Berikut ini hadits yang menjadi dasar bagi ulama yang menyatakan bahwa Khalifah harus orang Quraisy.

Pertama, hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Mu’awiyah ra. Beliau berkata bahwa beliau pernah mendengar Rasulullah saw bersabda: “Inna hadzal amra fi quraysin, la yu’adiihim ahadun illa kabbahu Allahu ‘ala wajihihi maa aqaamu addiina (Sesungguhnya urusan ini (al amra) di tangan Quraisy. Siapa saja yang memusuhi mereka, pastilah Allah akan membuatnya jatuh tersungkur, selama mereka masih menegakkan agama)”. (HR. Al- Bukhari).

Kedua, hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Ibnu Umar ra, beliau berkata: Rasulullah saw bersabda: “La yazaalu hadzal amru fi Quraisyin maa baqiya minhum isnaani (Urusan ini selalu di tangan Quraisy, selama masih ada dua orang diantara mereka)”. (HR. Bukhari).

Dari peristiwa Tsaqifah Bani Sa’idah, saat pemilhan Abu Bakar ra sebagai Khalifah. Pada saat itu Abu Bakar menyatakan: “Perkara ini tidak akan diakui kecuali untuk Quraisy. Mereka adalah orang Arab yang paling baik nasab dan dar-nya”. Juga pernyataan Umar ra: “Bahwa orang Arab tidak akan mengakui perkara ini, kecuali dari Quraisy. Mereka adalah orang yang paling baik nasab dan dar-nya”.

Dari hadits-hadits di atas dan dari pernyataan Sayyidan Abu Bakar dan Umar ra, beberapa ulama memahami bahwa Khalifah harus dari Quraisy.

*****
Bagaimana memahami hadits di atas? Apakah hadits di atas memang memberi perintah secara tegas, bahwa Khalifah (pemimpin) harus dari Quraisy?

Pertama, sesungguhnya hadits “Inna hadzal amra fi Quraysin (Sesungguhnya urusan ini (al amra) di tangan Quraisy, jika kita teliti berbentuk informasi (ikhbar) bukan tuntutan (thalab). Dalam ushul fiqih dikatakan: bentuk informasi (ikhbar) walaupun mengandung pengertian tuntutan (thalab), tidak dianggap sebagai tuntutan yang pasti (thalab jazim) selama tidak dibarengi qarinah (indikasi bahwa tuntutan itu bermakna pasti atau wajib). Jika kita teliti hadits tersebut, di sana tidak ada qarinah yang menunjukkan bahwa ada tuntutan pasti bahwa pemimpin itu harus dari Quraisy, misalnya umat berdosa jika pemimpin tidak dari Quraisy, dan lain sebagainya.

Kedua, sesungguhnya hadits “Inna hadzal amra fi quraysin (Sesungguhnya urusan ini (al amra) di tangan Quraisy, jika kita teliti kata “Quraisy” dalam bahasa Arab adalah isim (nama) atau laqab (sebutan), bukan sifat. Menurut ilmu ushul fiqih, isim atau laqab itu tidak memiliki mafhum mukholafah (pemahaman yang berkebalikan). Maka, hadits tadi menunjukkan bahwa pemimpin itu dari Quraisy, tetapi tidak bisa dipahami bahwa selain Quraisy dilarang menjadi pemimpin.
Ini berbeda untuk kata sifat. Kalau kata sifat memiliki mafhum muhkolafah. Contoh: Rasul bersabda: “Pada kambing yang digembalakan (as saimah) ada zakatnya”. As-saimah (kambing yang digembalakan) adalah kata sifat. Karena itu berlaku mafhum mukholafah. Artinya, kambing yang tidak digembalakan, maka tidak ada zakat atasnya. Inilah mafhum mukholafah. Mafhum mukholafah tidak terjadi pada isim atau laqab, seperti Quraisy.

Ketiga, adapun hadits “La yu’adiihim ahadun illa kabbahu Allahu ‘ala wajihihi maa aqaamu addiina (Siapa saja yang memusuhi mereka, pastilah Allah akan membuatnya jatuh tersungkur, selama mereka masih menegakkan agama)”, redaksi ini bukanlah qarinah dari pernyataan “Sesungguhnya urusan ini (al amra) di tangan Quraisy”. Tetapi, hadits ini menjelaskan fakta lain kepada umat Islam, yaitu agar tidak memusuhi Quraisy, selama mereka menegakkan agama. Sebetulnya larangan memusuhi, bukan hanya kepada Qurasiy, tetapi juga kepada umat-umat Islam dari suku-suku yang lain. Sebab, umat Islam itu saling saudara satu dengan yang lain, dan mereka dilarang saling bermusuhan hanya karena perbedaan nasab atau daerah.

Keempat, Rasulullah saw sendiri pernah mengangkat Abdullah bin Rawahah, Zaid bin Haritsah, dan Usamah bin Zaid sebagai orang yang menguasai perkara (waliyul amri atau amir). Padahal mereka bukan Quraisy. Hadits “Inna hadzal amra fi Quraysin (Sesungguhnya urusan ini (al amra) di tangan Quraisy” berarti wilayatul amri, yakni pemerintahan secara umum (inna hadzal amra), bukan hanya Khalifah, sesuai dengan keumuman nash hadits. Realita bahwa Rasulullah saw mengangkat orang selain Quraisy sebagai amir (waliyul amri), menjadi dalil bahwa waliyul amri itu tidak terbatas hanya pada Quraisy.

Kelima, saat terjadi diskusi di Tsaqifah Bani Sa’idah, yang akhirnya terpilih Abu Bakar sebaga Khalifah. Jika kita teliti, sebelum Abu Bakar terpilih sebagai Khalifah, para sahabat dari Anshar sudah memiliki calon Khalifah, yaitu Sa’ad bin Ubadah yang asli orang Madinah dan bukan Quraisy. Jika memang Khalifah itu wajib dari Quraisy, pasti para sahabat Anshar tidak berani mencalonkan Sa’ad bin Ubadah yang bukan orang Quraisy. Fakta bahwa sahabat Anshar mencalonkan Sa’ad bin Ubadah yang bukan Quraisy, membuktikan bahwa Khalifah tidak wajib dari Quraisy.

Keenam, terkait pernyataan Abu Bakar dan Umar bahwa: “Perkara ini tidak akan diakui kecuali untuk Quraisy. Mereka adalah orang Arab yang paling baik nasab dan dar-nya”. Jika kita teliti, pernyataan ini bukan tentang wajibnya Khalifah dari Quraisy, tetapi tentang fakta bahwa pada saat itu, yakni bahwa masyarakat Arab tidak mau dipimpin kecuali oleh Quraisy. Oleh karena itu pernyataan beliau ini menjadi illat. Pada saat itu, Quraisy adalah pemimpin Arab, dan orang Arab tidak mau melepaskan kepemimpinan mereka kecuali kepada orang Quraisy. Ini adalah perhatian yang sangat besar dari Abu Bakar dan Umar bahwa pemimpin harus mendapatkan keridloan dari umat. Seandainya diketahui bahwa kebanyakan umat menginginkan Fulan sebagai Khalifah (pemimpin), maka dia yang harus dibai’at, sesuai keridloan umat, apapun nasabnya.

Ketujuh, poin keenam ini senanda dengan pernyataan Umar menjelang beliau wafat. Beliau mengatakan: “Seandainya Salim Maula Abu Hudzaifah masih hidup, niscaya aku tunjuk dia sebagai calon penggantiku. Dan jika Rabb-ku menanyaiku, aku akan katakan bahwa aku mendengar Nabi-Mu bersabda: “Sesungguhnya Salim sangat mencintai Allah”.” Ini adalah pernyataan Umar yang disaksikan para sahabat besar pada saat itu. Padahal kita tahu, bahwa Salim Maula Abu Hudzaifah bukanlah dari Quraisy. Jika Khalifah (pemimpin) harus dari Quraisy dan haram kepada selainnya, maka Umar tidak akan mengatakan pernyataan yang diharamkan oleh Allah swt.

*****

Dengan melakukan kajian yang cermat atas hadits-hadits dan pernyataan Abu Bakar dan Umar ra di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Khalifah (waliyul amri) tidak harus dari Quraisy. Ini pemahaman yang lebih rajih. Namun, demikian hadits-hadits yang ada menunjukkan Quraisy sebagai pemilik urusan (inna hadzal amra), maka lebih utama jika Quraisy yang menjadi Khalifah.

Oleh karena itu, Khalifah dari Quraisy itu bukan syarat i’iqod (syarat sahnya seseorang) menajdi Khalifah, tetapi Quraisy merupakan syarat keutamaan (afdloliyyah).

Terakhir, penting untuk dipahami bahwa berbedaan ini merupakan perbedaan (ikhtilaf) dalam hal ijtihad, karena itu mestinya kita tidak boleh merendahkan pendapat ulama yang kebetulan hasil ijtihadnya berbeda dengan kita. Cukuplah kita katakan, inilah pemahaman yang menurut kami lebih rajih, yakni bahwa Quraisy bukanlah sayarat in’iqod, tetapi ia adalah syarat afdloliyyah (keutamaan).

Wallahu a’lam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENGENAL ULAMA YANG ASWAJA

Bismillaahir Rohmaanir Rohiim   Al-‘ulama’ secara bahasa ialah bentuk jamak (plural) taksir (yang telah berubah dari huruf asalnya) dari kata al-‘aliim, yaitu orang yang memiliki ilmu, seperti kata al-kariim menjadi al-kuroma’ dan al-amiin menjadi al-umana’. Adapun kata al-‘aalim, maka bentuk jamak taksirnya menjadi al-’allaam, sedang bentuk jamak mudzakarnya (yang menunjukkan arti laki-laki) ialah al-‘aalimuun. Al-‘ulama’ adalah mereka yang memiliki ilmu agama secara khusus, atau mereka yang memiliki ilmu ketuhanan secara khusus. Sedangkan al-‘aalimuun adalah mereka yang memiliki ilmu agama dan ilmu dunia secara umum.   Ulama itu ada dua macam: Ulama akhirat dan ulama dunia.   Pertama: Ulama akhirat   Ulama akhirat adalah ulama shalihun yang mengamalkan ilmunya. Mereka adalah lentera dunia, pewaris Nabi saw dan pewaris nabi-nabi sebelumnya, penerus (khalifah) para nabi, kepercayaan umat dan kepercayaan Allah swt atas makhluknya. Mengenai mereka, Rasulullah saw ...

Idrus Ramli Menantang Debat Abulwafa Romli?! (Ke - 1)

Oleh : BuAhmad Abdulloh NASEHAT TERBUKA UNTUK USTADZ ABULWAFA ROMLI Assalamu’alaikum wr wb. Bismillaahir Rahmaanir Rahiim Menimbang: 1. Setelah ana mengikuti perkembangan tantangan debat terbuka dari kubu M Idrus Ramli ( bukan dari M Idrus Ramli sendiri ) yang disampaikan kepada ustadz Abulwafa Romli melalui jejaring sosial ini, dan setelah hamba membaca dan mempelajari buku Hizbut Tahrir dalam Sorotan dan Jurus Ampuh Membungkam HTI, dan setelah hamba membaca dan mempelajari berbagai bantahan ustadz Abulwafa Romli terhadap keduanya, yaitu dalam buku Membongkar Pemikiran Aswaja Topeng 1, bantahan atas buku Hizbut Tahrir dalam Sorotan, dan buku Membongkar Pemikiran Aswaja Topeng 2, edisi Kesalahan Logika Kaum Liberal, dan dalam berbagai tulisannya yang lain. 2. Setelah ana mengenal karakter M Idrus Ramli yang suka (dengan meminjam kalimat ustadz Abulwafa Romli) merekayasa, berdusta, memitnah dan memprovokasi terhadap Syaikh Taqiyyuddien an-Nabhani dan Hizbut Tahrir yang didirikannya, da...

PERNYATAAN ULAMA ASWAJA TERKAIT IMAM MAHDI

Bismillaahir Rohmaanir Rohiim Al-Hafidz Abul Hasan al-Abari berkata: “Sungguh hadis-hadis terkait akan keluarnya Imam Mahdi telah mencapai mutawatir karena banyak yang meriwayatkannya dari Mushthafa SAW di mana beliau termasuk ahli baitnya, berkuasa selama tujuh tahun, memenuhi dunia dengan keadilan, akan keluar bersama Nabi Isa AS, lalu Nabi Isa membantunya membunuh Dajjal di pintu lud wilayah Palestina, dan beliau akan memimpin umat Islam, dan Nabi Isa akan shalat di belakangnya”. (Tahdzib al-Tahdzib, juz 9, hal. 144). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Hadits-hadits yang dijadikan hujah atas keluarnya Imam Mahdi adalah hadis-hadis shahih riwayat Abu Daud, Tirmidzi, Ahmad dll.” (Minhajus Sunnah an-Nabawiyyah, juz 4, hal. 95). Al-Hafidz Ibnu Katsir berkata: “Fasal terkait penjelasan Imam Mahdi yang akan keluar pada akhir zaman. Beliau adalah salah seorang dari al-Khulafa’ ar-Rasyidin dan Para Imam Mahdi. Beliau bukan yang ditunggu-tunggu kedatan...