(Cinta Indonesia Rindu Khilafah)
Ketika ditanyakan kepada seorang muslim di Indonesia, pilih Indonesia atau Khilafah? Dari pertanyaan ini, paling tidak ada tiga kelompok jawaban atau respon. Pertama, ada sebagian orang yang karena cintanya kepada Indonesia, dengan mantap dia memilih Indonesia. Kedua, sebagian lagi, karena kerinduannya pada Khilafah, tanpa ragu-ragu dia memilih Khilafah. Dan ketiga, ada sebagian lagi yang bingung, dia mengatakan bahwa pilihan ini seperti buah simalakama, di satu sisi mau pilih Indonesia tapi dia mehamai wajibnya Khilafah, di sisi lain mau pilih Khilafah tapi ia merasa tinggal di Indonesia. Ia bingung. Ia lalu mengatakan, ini merupakan pilihan yang sangat sulit, seperti sulitnya menjawab mana yang lebih dulu ayam atau telur?
Dari tiga kelompok jawaban atau sikap di atas, manakah yang paling dapat dipertanggung-jawabkan?
*****
Tiga jawaban itulah kira-kira yang banyak ditemukan. Tetapi di saat ketidak-jelasan mana jawaban yang benar, mereka yang milih Indonesia dianggap sebagai orang yang nasionalis. Dialah yang dianggap sebagai pewaris sah Indonesia. Dialah yang layak menentukan siapa yang boleh hidup di Indonesia, dan siapa yang tidak layak di Indonesia. Dialah yang berwenang menentukan arah perjalanan Indonesia. Bahkan, dialah yang boleh berbicara tentang Indonesia. Dialah orang yang paling Indonesia. Dialah orang yang “darah” dan “tulang”nya adalah Indonesia, yang “tanah”, “air” dan “udara”nya adalah Indonesia. Dalam bahasa puitis, dialah yang “tumpah darah”nya adalah Indonesia.
Sementara yang bingung dan tidak menjawab, dianggap sebagai orang bijak. Dia dianggap lebih berhati-hati, tidak fanatik, lebih berimbang, lebih fair, lebih toleran, lebih akomodatif, tidak ekstrim kiri atau kanan. Dia tidak diberi hak menentukan arah Indonesia, seperti para nasionalis, tapi dalam beberapa hal pendapatnya perlu didengarkan karena dia adalah orang yang moderat dan memiliki “sikap baik” lainnya yang layak untuk kebaikan Indonesia.
Sementara yang milih Khilafah dianggap sebagai orang yang berbahaya. Lalu, dia dikatakan sebagai orang tidak punya rasa kebangsaan, yang tidak ingin kebaikan dan kemajuan Indonesia. Sebagian dikatakan sebagai orang yang naïf, dengan pikiran sempit, dan tak berperadaban. Sebagian dikatakan sebagai fundamentalis yang gagap dengan modernitas. Sebagian dikatakan sebagai orang yang tidak bisa menerima kenyataan dan lebih suka berhayal tentang romantisme historis. Sebagian dikatakan sebagai teroris, yang matinya “lebih baik” daripada hidupnya. Mereka dianggap bukan Indonesia, meski “darah”nya “tumpah” di Indonesia saat kelahirannya, dan “tumpah” di Indonesia saat kematiannya di tangan para algojo Indonesia.
*****
Saat ini, memang diopinikan bahwa seakan-akan bangsa dan Islam itu dua hal berbeda, yang harus diposisikan berhadap-hadapan.
Padahal, jika dipahami dengan teliti, pertanyaan ini sebenarnya tidak ada jawabannya, karena memang bukan pertanyaan pilihan. Atau jika tetap dijawab dengan anggapan itu adalah sebuah pertanyaan pilihan, maka jawabannya sangat mudah. Jawabannya adalah Indonesia dan Khilafah. Jawabannya menggunakan “dan”, bukan “atau”, sebab pertanyaannya bukan pertanyaan pilihan.
Pertanyaan ini, sebetulnya seperti ini, pilih istri cantik atau sholihah? Ini sebenarnya bukan pertanyaan pilihan, karena cantik dan sholihah, itu bukan pilihan? Sebab, cantik dan sholihah itu bisa digabung, cantik sekaligus sholihah. Makanya saat masih sekolah, saat ditanya pak guru tentang hal itu, jawaban semua siswa laki-laki kompak. Sungguh, mereka adalah siswa yang cerdas!. Ini berbeda dengan pertanyaan, pilih cantik tapi tidak solehah atau kurang cantik tapi sholehah? Ini pertanyaan pilihan, meski cantik atau kurang cantik, itu sangat subjektif.
Pertanyaan diatas, juga seperti ini, pilih tinggal di Semarang atau kaya? Ini jelas bukan pertanyaan pilihan, memangnya di Semarang tidak bisa kaya? Atau kalau di luar Semarang apakah pasti kaya? Ini berbeda dengan pertanyaan, pilih di Semarang atau di Surabaya? Nah, ini adalah pertanyaan pilihan.
Kembali ke pertanyaan, pilih Indonesia atau Khilafah? Ini bukan pertanyaan pilihan. Sebab, Indonesia dipahami sebagai nama tempat atau nama bangsa, sementara Khilafah adalah nama sistem pemerintahan. Kenyataannya, Indonesia dalam sejarah pernah menganut sistem pemerintahan berbentuk kerajaan, lalau sekarang menganut sistem pemerintahan republik-demokrasi. Dan keduanya terbukti tidak mengantarkan pada keadilan dan kesejahteraan bagi Indonesia.
Bangsa lain, Turki misalnya, pernah menganut sistem pemerintahan model kekaisaran, pernah menganut sistem Khilafah dan sekarang menerapkan sistem republik. Dan terbukti, saat menganut sistem Khilafah, Turki menjadi sangat maju dan masyarakat adil-makmur, sementara setelah menganut sistem republik (Turki modern), jutru menjadi kacau balau.
Jadi, Indonesia dan Khilafah sebenarnya bukanlah pilihan. Indonesia bisa menganut sistem Khilafah, sehingga menjadi bangsa yang adil-makmur.
Ini berbeda dengan memilih pemerintahan berbentuk republik-demokrasi, kerajaan atau Khilafah? Nah, ini adalah pertanyaan pilihan. Pilih mana kita? Mestinya, kita harus memilih yang secara empirik dan normatif mampu mengantarkan masyarakat hidup dalam kesejahteraan dan ridlo Allah, atau dalam bahasa arabnya baldatun thoyyibatun warobbun ghofur.
Sangat sulit dipahami, kita ingin diridloi Allah sementara sistem yang diterapkan bukan dari Allah. Jika ingin diridloi Allah, pilihannya hanya satu, yaitu menggunakan sistem yang dari Allah, yaitu Khilafah.
Anda mau pilih mana?
Wallahu a’lam.
(By Choirul Anam)
Komentar
Posting Komentar