Langsung ke konten utama

MENERAPKAN HUKUM LAHIR

MENERAPKAN HUKUM ATAS LAHIR MANUSIA

Bismillahirrahmaanirrahiim.
Di tengah-tengah komunitas muslim mayoritas yang mengklaim Ahlussunnah Waljama’ah, seringkali kita dapati seorang tokoh muslim yang tingkah lakunya selalu nyleneh dan melanggar rambo-rambo syariat, seperti menjalin hubungan baik dengan non muslim serta membenci sesama muslim yang getol berdakwah, atau menolak penerapan syariat Islam dalam kehidupan, masyarakat dan negara serta mendukung sepenuh hati penerapan syariat demokrasi serta para propagandisnya.

Namun dibalik itu semua, para pengikut panatiknya selalu berprasangka baik kepadanya seraya berkata: “Beliau itu termasuk waliyulloh, ulama besar, seperti Nabi Khidlir… Ilmu kita belum sampai. Kita tidak boleh buruk sangka kepada beliau…”, dan seterusnya.

Para pengikut panatiknya justru selalu buruk sangka kepada orang-orang yang selama ini berada dijalan yang lurus, yang disiplin dan taat kepada rambo-rambo syariat, dengan melemparkan bermacam tuduhan miring kepada mereka.

Atas dasar ini, saya mencoba untuk membedah problem tersebut, dengan berkata:
Ketika anda menyaksikan ada seorang laki-laki yang berkasih sayang (loyal) kepada kaum Yahudi dan Nasrani, maka hukumilah atas lahirnya saja, bahwa dia termasuk golongan mereka, karena Alloh SWT telah berfirman:
ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳْﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮْﺍ ﻟَﺎ ﺗَﺘَّﺨِﺬُﻭﺍ ﺍﻟْﻴَﻬُﻮْﺩَ ﻭَﺍﻟﻨَّﺼَﺎﺭَﻯ ﺃَﻭْﻟِﻴَﺎﺀَ، ﺑَﻌْﻀُﻬُﻢْ ﺃَﻭْﻟِﻴَﺎﺀُ ﺑَﻌْﺾٍ، ﻭَﻣَﻦْ ﻳَﺘَﻮَﻟَّﻬُﻢْ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﻓَﺈِﻧَّﻪُ ﻣِﻨْﻬُﻢْ، ﺇِﻥَ ﺍﻟﻠﻪَ ﻟَﺎ ﻳَﻬْﺪِﻱ ﺍﻟْﻘَﻮْﻡَ ﺍﻟﻈَّﺎﻟِﻤِﻴْﻦَ .
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi kekasih-kekasih (pemimpin-pemimpin kalian); sebahagian mereka adalah kekasih (pemimpin) bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kalian mengambil mereka menjadi kekasih, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”. QS al-Maidah [5]: 51.

Dan ketika anda menyaksikan seorang laki-laki yang menolak dan mengingkari syariat untuk diterapkan dalam kehidupan, masyarakat dan negara, maka hukumilah lahirnya saja, bahwa dia adalah fasik, zalim atau kafir atau murtad, karena adakalanya dia menolak syariat dengan keyakinannya, perbuatannya atau perkataannya. Sedangkan semuanya itu bisa mengeluarkannya dari lingkaran Islam dan memasukkannya kepada lingkaran kufur. (Terkait dengan masalah riddah atau murtad ini para ulama telah membahasnya dalam kitab-kitab fikih dan disana sudah sangat jelas. Dan pada halaman ini sudah ada postingannya sendiri). Dalam hal ini, Alloh SWT berfirman:

“Dan berbuat fitnah itu lebih besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”. QS al-Baqaroh [2]: 217.

Dan juga dia telah menolak penerapan syariat, adakalanya karena mencari agama selain Islam atau mencari hukum dari selain hukum-hukum Islam. Padahal Alloh SWT telah berfirman:
“Dan barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. QS Ali ‘Imron [3]: 85.

Dan Alloh berfirman:
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” QS al-Maidah [5]: 50.

Dan Alloh berfirman:
“Dan barang siapa yang tidak memutuskan menurut hukum yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”. QS al-Maidah [5]: 44. Dan ayat-ayat sebelumnya.

Berbeda dengan di atas, ketika anda menyaksikan seorang laki-laki yang beraktifitas untuk menerapkan hukum-hukum Islam, menegakkan ketentuan-ketentuan (hudud) Islam, melalui penegakkan daulah khilafah dan mengangkat serta mambaiat khalifah, maka hukumilah lahirnya saja, bahwa dia termasuk orang-orang saleh yang menolong agama Allah dan memerangi kaum kuffar dengan diri mereka –dan termasuk diri adalah perbuatan, perkataan dan pikiran-, dan dengan harta mereka, karena penerapan syariat Islam itu tidak mungkin bisa sempurna tanpa dakwah dan jihad. Sedangkan dakwah dan jihad itu membutuhkan kepada orang-orang yang beraktifitas untuk keduanya. Dan tidak diragukan lagi bahwa mereka adalah para penolong agama Alloh SWT.

Dalam hal ini Alloh berfirman:
“(juga) bagi orang-orang fakir yang berhijrah yang telah diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka Itulah orang-orang yang benar”. QS al-Hasyer [59]: 8.

Dan Alloh berfirman:
“Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu”. QS Muhammad [47]: 7.

Dan Alloh berfirman:
“Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha kuat lagi Maha perkasa”. QS al-Hajj [22]: 40.

Dan Alloh berfirman:
“… supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa”. QS al-Hadid [57]: 25.

Ayat-ayat tersebut juga yang lainnya sangat jelas menunjukkan bahwa agama Islam itu membutuhkan kepada orang-orang yang menolongnya, karena menolong Alloh itu berarti menolong agama-Nya, bukan menolong diri-Nya, karena Allah itu Maha kuat dan Maha perkasa. Sedangkan Zat yang Maha kuat dan Maha perkasa itu tidak membutuhkan penolong atau pembantu. Lebih dari itu, Alloh adalah Pencipta yang Maha kuasa (Khaaliqun Qaadirun) yang tidak butuh kepada makhluk. Justru makhluklah yang butuh kepada-Nya.

Demikian itu, adalah penerapan hukum terhadap lahir manusia. Adapun isi hati mereka (sarirotuhum / saroiruhum), maka diserahkan kepada Alloh, karena Alloh lah yang pada hari Kiamat akan menghisab amal perbuatan mereka, baik yang lahir maupun yang batin. Kalau buruk, maka balasannya buruk, dan kalau baik, maka balasannya juga baik.

DALIL-DALIL MELAKSANAKAN HUKUM LAHIR:

Diantaranya ;
ﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﻣﻌﺒﺪ ﺍﻟﻤﻘﺪﺍﺩ ﺑﻦ ﺍﻷﺳﻮﺩ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﻗﺎﻝ : ﻗﻠﺖُ ﻟﺮﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ : ﺃﺭﺃﻳﺖَ ﺇﻥ ﻟﻘﻴﺖُ ﺭﺟﻼً ﻣﻦ ﺍﻟﻜﻔﺎﺭ ﻓﺎﻗﺘﺘﻠﻨﺎ ﻓﻀﺮﺏ ﺇﺣﺪﻯ ﻳﺪﻱّ ﺑﺎﻟﺴﻴﻒ ﻓﻘﻄﻌﻬﺎ ﺛﻢ ﻻﺫ ﻣﻨﻲ ﺑﺸﺠﺮﺓ ﻓﻘﺎﻝ : ﺃﺳﻠﻤﺖُ ﻟﻠﻪ، ﺃﺃﻗﺘﻠﻪ ﻳﺎﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻌﺪ ﺃﻥ ﻗﺎﻟﻬﺎ ؟ ﻓﻘﺎﻝ : ﻻ ﺗﻘﺘﻠﻪ ! ﻓﻘﻠﺖُ : ﻳﺎﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺇﻧﻪ ﻗﻄﻊ ﺇﺣﺪﻯ ﻳﺪﻱّ ﺛﻢ ﻗﺎﻝ ﺫﻟﻚ ﺑﻌﺪ ﻣﺎ ﻗﻄﻌﻬﺎ ﺃﻓﺄﻗﺘﻠﻪ ؟ ﻓﻘﺎﻝ : ﻻ ﺗﻘﺘﻠﻪ ﻓﺈﻥ ﻗﺘﻠﺘﻪ ﻓﺈﻧﻪ ﺑﻤﻨﺰﻟﺘﻚ ﻗﺒﻞ ﺃﻥ ﺗﻘﺘﻠﻪ ﻭﺇﻧﻚ ﺑﻤﻨﺰﻟﺘﻪ ﻗﺒﻞ ﺃﻥ ﻳﻘﻮﻝ ﻛﻠﻤﺘﻪ ﺍﻟﺘﻲ ﻗﺎﻝ . ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﻴﻪ .
Abu Makbad Miqdad bin Aswad RA berkata: “Aku pernah bertanya kepada Rasululloh SAW: “Apa pendapat tuan, ketika aku bertemu dengan laki-laki dari kaum kuffar dalam peperangan, lalu dia memotong salah satu dari kedua tanganku, lalu dia berlindung dariku dibalik pohon, lalu dia berkata: “Aku masuk Islam, karena Allah”. Wahai Rasululloh, apakah aku boleh membunuhnya setelah dia mengucapkan kalimat itu?”. Beliau bersabda: “Kamu jangan membunuhnya! Karena ketika kamu membunuhnya, maka dia menempati posisimu sebelum kamu membunuhnya, dan kamu menempati posisinya sebelum dia mengucapkan kalimatnya yang dia ucapkan”. HR Bukhari dan Muslim.

Pengertian, dia menempati posisimu, yakni dia terjaga darahnya dan dia dihukumi sebagai muslim. Sedang pengertian, kamu menempati posisinya, yakni kamu mubah darahnya dengan diqishash bagi ahli warisnya, bukan kamu menempati posisinya dalam kekufuran. (lihat: Imam Nawawi, Riyadhush Shalihin, bab Ijrou Ahkaamin Naasi ‘ala al-Dzhahiri, hal. 90, Daar al-Fikr, 1994 M).

Dan dari Usamah...
ﻭﻋﻦ ﺃﺳﺎﻣﺔ ﺑﻦ ﺯﻳﺪ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﻗﺎﻝ : ﺑﻌﺜﻨﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺤُﺮَﻗﺔ ﻣﻦ ﺟﻬﻴﻨﺔ، ﻓﺼﺒﺤﻨﺎ ﺍﻟﻘﻮﻡَ ﻓﻬﺰﻣﻨﺎﻫﻢ، ﻭﻟﺤﻘﺖُ ﺃﻧﺎ ﻭﺭﺟﻞ ﻣﻦ ﺍﻷﻧﺼﺎﺭ ﺭﺟﻼ ﻣﻨﻬﻢ ﻓﻠﻤﺎ ﻏﺸﻴﻨﺎﻩ ﻗﺎﻝ : ﻻ ﺇﻟﻪ ﺇﻻ ﺍﻟﻠﻪ، ﻓﻜﻒ ﻋﻨﻪ ﺍﻷﻧﺼﺎﺭﻱّ، ﻭﻃﻌﻨﺘﻪ ﺑﺮﻣﺤﻲ ﺣﺘﻰ ﻗﺘﻠﺘﻪ . ﻓﻠﻤﺎ ﻗﺪﻣﻨﺎ ﺍﻟﻤﺪﻳﻨﺔ ﺑﻠﻎ ﺫﻟﻚ ﺍﻟﻨﺒﻲّ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻘﺎﻝ ﻟﻲ : ﻳﺎﺃﺳﺎﻣﺔ ﺃﻗﺘﻠﺘﻪ ﺑﻌﺪ ﻣﺎ ﻗﺎﻝ : ﻻ ﺇﻟﻪ ﺇﻻ ﺍﻟﻠﻪ ؟ ! ، ﻗﻠﺖ : ﻳﺎﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺇﻧﻤﺎ ﻛﺎﻥ ﻣﺘﻌﻮﺫﺍً، ﻓﻘﺎﻝ : ﺃﻗﺘﻠﺘﻪ ﺑﻌﺪ ﻣﺎ ﻗﺎﻝ : ﻻ ﺇﻟﻪ ﺇﻻ ﺍﻟﻠﻪ؟ ! ﻓﻤﺎﺯﺍﻝ ﻳﻜﺮﺭﻫﺎ ﻋﻠﻲّ ﺣﺘﻰ ﺗﻤﻨﻴﺖُ ﺃﻧﻲ ﻟﻢ ﺃﻛﻦ ﺃﺳﻠﻤﺖ ﻗﺒﻞ ﺫﻟﻚ ﺍﻟﻴﻮﻡ . ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﻴﻪ .
Utsamah bin Zaid RA berkata: “Rasulullah SAW telah mengutusku ke Huroqah dari kabilah Juhainah. Lalu pada pagi harinya kami menyerang mereka dan mereka berlarian. Dan aku bersama laki-laki dari Anshar mengejar laki-laki dari mereka dan setelah kami menguasainya, ia berkata, “Laa ilaaha illalloh”, lalu laki-laki Anshar itu menahan darinya, sedang aku menusuknya dengan tombakku hingga aku membunuhnya. Ketika kami telah datang ke Madinah, maka berita itu telah sampai kepada Nabi SAW, lalu beliau bersabda kepadaku; “Wahai Utsamah, apakah kamu membunuhnya setelah dia berkata, ‘Laa ilaaha illalloh’!?” Aku menjawab; “Wahai Rasulullah, dia hanya berlindung dariku”. Lalu beliau bersabda: “Apakah kamu membunuhnya setelah dia berkata, ‘Laa ilaaha illalloh’!?” Beliau terus mengulang-ulang pertanyaan itu, sampai aku ingin ketika hari itu aku belum masuk Islam”. HR Imam Bukhari dan Muslim.

Dalam riwayat lain...
ﻭﻓﻰ ﺭﻭﺍﻳﺔ ﻓﻘﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ : ﺃﻗﺎﻝ ﻻ ﺇﻟﻪ ﺇﻻ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﻗﺘﻠﺘﻪ؟ ! ﻗﻠﺖ : ﻳﺎﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺇﻧﻤﺎ ﻗﺎﻟﻬﺎ ﺧﻮﻓﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﻼﺡ، ﻗﺎﻝ ﺃﻓﻼ ﺷﻘﻘﺖَ ﻋﻦ ﻗﻠﺒﻪ ﺣﺘﻰ ﺗﻌﻠﻢ ﺃﻗﺎﻟﻬﺎ ﺃﻡ ﻻ ؟ ! ﻓﻤﺎ ﺯﺍﻝ ﻳﻜﺮﺭﻫﺎ ﻋﻠﻲّ ﺣﺘﻰ ﺗﻤﻴﻨﺖُ ﺃﻧﻲ ﻟﻢ ﺃﻛﻦ ﺃﺳﻠﻤﺖُ ﻳﻮﻣﺌﺬ .
Miturut riwayat lain: Lalu Rasulullah SAW bersabda: “Apakah dia telah berkata , ‘Laa Ilaaha Illallohu’ dan kamu membunuhnya!?” Aku berkata: “Wahai Rasulullah, dia hanya mengatakannya karena tukut terbunuh”. Beliau bersabda: “Kenapa kamu tidak membelah hatinya sehingga kamu mengerti apakah hatinya mengucapkannya atau tidak?” Beliau terus mengulang-ulang kalimat itu kepadaku hingga aku ingin pada hari itu belum masuk Islam”. (lihat: Imam Nawawi, Riyadhush Shalihin, bab Ijrou Ahkaamin Naasi ‘ala al-Dzhahiri, hal. 90, Daar al-Fikr, 1994 M).

Dalam kitab Nurul Yaqin (hal. 210, Maktabah Daaru Ihyaail Kutubil Arobiyyah, Indonesia), karya Syaikh Muhammad Hadhari Bika, Rasulullah SAW bersabda: “Apakah kamu membunuhnya setelah dia berkata, ‘Laa Ilaaha Illallohu’, bagaimana kamu memperlakukan‘Laa Ilaaha Illallohu’?” Utsamah berkata: “Wahai Rasulullah, dia mengucapkannya hanya karena takut dibunuh”. Nabi SAW bersabda: “Lalu kenapa kamu tidak membelah jantungnya, lalu kamu mengerti apakah ia benar atau dusta?”. Lalu Utsamah berkata: “Wahai Rasulullah, mintakan ampunan untukku”, Nabi SAW bersabda: “Lalu bagaimana dengan‘Laa Ilaaha Illallohu’!? Nabi terus mengulang-ulangnya sampai Utsamah menginginkan belum maksuk Islam pada hari itu.
Dan Alloh SWT menurunkan ayat berikut:
ﻭﻻ ﺗﻘﻮﻟﻮﺍ ﻟﻤﻦ ﺃﻟﻘﻰ ﺇﻟﻴﻜﻢ ﺍﻟﺴﻼﻡ ﻟﺴﺖ ﻣﺆﻣﻨﺎ ﺗﺒﺘﻐﻮﻥ ﻋﺮﺽ ﺍﻟﺤﻴﺎﺓ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﻓﻌﻨﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﻐﺎﻧﻢ ﻛﺜﻴﺮﺓ …
“…Dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan "salam" kepadamu (yakni mengucapkan ‘laa ilaaha illalloh’): "Kamu bukan seorang mukmin" (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia, karena di sisi Allah ada harta yang banyak…”. QS an-Nisa’[4]: 94.
Kemudian Rasulullah SAW menyuruh Utsmah agar memerdekakan seorang budak sebagai kafarot, karena dianggap membunuh karena keliru.

Juga dalam kitab Nurul Yaqin (hal. 236-237), ketika Rasulullah SAW membagi harta ghanimah (harta rampasan perang), lalu orang yang berjalan kaki memperoleh empat unta dan empat puluh kambing, dan penunggang kuda memperoleh tiga kali lipatnya. Lalu laki-laki dari kaum munafiqin berkata: “Pembagian ini tidak berdasarkan ridha Allah”. Maka Rasulullah SAW marah hingga mukanya memerah seraya bersabda: “Celaka kamu, siapa yang bisa adil, ketika aku tidak adil!?”. Tetapi kemarahannya tidak berujung pada penyiksaan karena dirinya. Maha suci beliau dari hal itu. Tetapi tidak lebih dari memberi nasihat dan peringatan. Dan ‘Umar dan Khalid bin Walid berkata kepadanya: “Wahai Rasulullah, biarkan kami memenggal lehernya!”. Beliau bersabda: “Jangan, barang kali ia shalat!”. Lalu Khalid berkata: “Banyak sekali orang yang shalat berkata dengan lisannya akan sesuatu yang tidak ada pada hatinya”. Lalu Nabi SAW bersabda:
“Sesungguhnya aku tidak diperintah untuk membedah hati manusia dan tidak pula untuk membelah perut mereka”.

Dan dari Abdullah ;
ﻭﻋﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻦ ﻋﺘﺒﺔ ﺑﻦ ﻣﺴﻌﻮﺩ ﻗﺎﻝ : ﺳﻤﻌﺖ ﻋﻤﺮ ﺑﻦ ﺍﻟﺨﻄﺎﺏ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﻳﻘﻮﻝ : ﺇﻥ ﻧﺎﺳﺎ ﻛﺎﻧﻮﺍ ﻳﺆﺧﺬﻭﻥ ﺑﺎﻟﻮﺣﻲ ﻓﻰ ﻋﻬﺪ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﺇﻥ ﺍﻟﻮﺣﻲ ﻗﺪ ﺍﻧﻘﻄﻊ، ﻭﺇﻧﻤﺎ ﻧﺄﺧﺬﻛﻢ ﺍﻵﻥ ﺑﻤﺎ ﻇﻬﺮ ﻟﻨﺎ ﻣﻦ ﺃﻋﻤﺎﻟﻜﻢ، ﻓﻤﻦ ﺃﻇﻬﺮ ﻟﻨﺎ ﺧﻴﺮﺍ ﺃﻣﻨﺎﻩ ﻭﻗﺮﺑﻨﺎﻩ، ﻭﻟﻴﺲ ﻟﻨﺎ ﻣﻦ ﺳﺮﻳﺮﺗﻪ ﺷﻴﺊ، ﺍﻟﻠﻪ ﻳﺤﺎﺳﺒﻪ ﻓﻰ ﺳﺮﻳﺮﺗﻪ، ﻭﻣﻦ ﺃﻇﻬﺮ ﻟﻨﺎ ﺳﻮﺀﺍً ﻟﻢ ﻧﺄﻣﻨﻪ ﻭﻟﻢ ﻧﺼﺪّﻗﻪ ﻭﺇﻥ ﻗﺎﻝ ﺃﻥ ﺳﺮﻳﺮﺗﻪ ﺣﺴﻨﺔ . ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ .
Abdullah bin ‘Utbah bin Mas’ud berkata: “Aku pernah mendengar ‘Umar bin al-Khatob RA berkata: “Sesungguhnya manusia pada masa Nabi SAW selalu diputuskan dengan wahyu. Sedangkan wahyu sudah terputus. Dan sekarang kami hanya memutuskan kalian dengan amal perbuatan kalian yang nampak kepada kami. Barang siapa yang menampakkan kebaikan kepada kami, maka kami mengamankan dan mendekatkannya, kami tidak mengurus isi hatinya sedikitpun, dan Allah yang akan menghisabnya terkait isi hatinya. Dan barang siapa menampakkan keburukan kepada kami, maka kami tidak mengamankannya dan tidak pula membenarkannya, meskipun ia berkata bahwa isi hatinya adalah baik”. HR Imam Bukhari. (lihat: Imam Nawawi, Riyadhush Shalihin, bab Ijrou Ahkaamin Naasi ‘ala al-Dzhahiri, hal. 91, Daar al-Fikr, 1994 M).

Perkataan ‘Umar bin Khattob ini, dan hadis-hadis sebelumnya, sudah sangat jelah, sehingga tidak perlu dijelaskan ulang, kecualai bagi orang yang identitas ke-Islam-annya tidak jelah, maka seribu kali lipat tulisan ini baginya tidak akan jelas. Wallohu A’lam…

Pernah diunggah di catatan fb, 11 Agustus 2012 pukul 8:22 ·

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENGENAL ULAMA YANG ASWAJA

Bismillaahir Rohmaanir Rohiim   Al-‘ulama’ secara bahasa ialah bentuk jamak (plural) taksir (yang telah berubah dari huruf asalnya) dari kata al-‘aliim, yaitu orang yang memiliki ilmu, seperti kata al-kariim menjadi al-kuroma’ dan al-amiin menjadi al-umana’. Adapun kata al-‘aalim, maka bentuk jamak taksirnya menjadi al-’allaam, sedang bentuk jamak mudzakarnya (yang menunjukkan arti laki-laki) ialah al-‘aalimuun. Al-‘ulama’ adalah mereka yang memiliki ilmu agama secara khusus, atau mereka yang memiliki ilmu ketuhanan secara khusus. Sedangkan al-‘aalimuun adalah mereka yang memiliki ilmu agama dan ilmu dunia secara umum.   Ulama itu ada dua macam: Ulama akhirat dan ulama dunia.   Pertama: Ulama akhirat   Ulama akhirat adalah ulama shalihun yang mengamalkan ilmunya. Mereka adalah lentera dunia, pewaris Nabi saw dan pewaris nabi-nabi sebelumnya, penerus (khalifah) para nabi, kepercayaan umat dan kepercayaan Allah swt atas makhluknya. Mengenai mereka, Rasulullah saw ...

Idrus Ramli Menantang Debat Abulwafa Romli?! (Ke - 1)

Oleh : BuAhmad Abdulloh NASEHAT TERBUKA UNTUK USTADZ ABULWAFA ROMLI Assalamu’alaikum wr wb. Bismillaahir Rahmaanir Rahiim Menimbang: 1. Setelah ana mengikuti perkembangan tantangan debat terbuka dari kubu M Idrus Ramli ( bukan dari M Idrus Ramli sendiri ) yang disampaikan kepada ustadz Abulwafa Romli melalui jejaring sosial ini, dan setelah hamba membaca dan mempelajari buku Hizbut Tahrir dalam Sorotan dan Jurus Ampuh Membungkam HTI, dan setelah hamba membaca dan mempelajari berbagai bantahan ustadz Abulwafa Romli terhadap keduanya, yaitu dalam buku Membongkar Pemikiran Aswaja Topeng 1, bantahan atas buku Hizbut Tahrir dalam Sorotan, dan buku Membongkar Pemikiran Aswaja Topeng 2, edisi Kesalahan Logika Kaum Liberal, dan dalam berbagai tulisannya yang lain. 2. Setelah ana mengenal karakter M Idrus Ramli yang suka (dengan meminjam kalimat ustadz Abulwafa Romli) merekayasa, berdusta, memitnah dan memprovokasi terhadap Syaikh Taqiyyuddien an-Nabhani dan Hizbut Tahrir yang didirikannya, da...

PERNYATAAN ULAMA ASWAJA TERKAIT IMAM MAHDI

Bismillaahir Rohmaanir Rohiim Al-Hafidz Abul Hasan al-Abari berkata: “Sungguh hadis-hadis terkait akan keluarnya Imam Mahdi telah mencapai mutawatir karena banyak yang meriwayatkannya dari Mushthafa SAW di mana beliau termasuk ahli baitnya, berkuasa selama tujuh tahun, memenuhi dunia dengan keadilan, akan keluar bersama Nabi Isa AS, lalu Nabi Isa membantunya membunuh Dajjal di pintu lud wilayah Palestina, dan beliau akan memimpin umat Islam, dan Nabi Isa akan shalat di belakangnya”. (Tahdzib al-Tahdzib, juz 9, hal. 144). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Hadits-hadits yang dijadikan hujah atas keluarnya Imam Mahdi adalah hadis-hadis shahih riwayat Abu Daud, Tirmidzi, Ahmad dll.” (Minhajus Sunnah an-Nabawiyyah, juz 4, hal. 95). Al-Hafidz Ibnu Katsir berkata: “Fasal terkait penjelasan Imam Mahdi yang akan keluar pada akhir zaman. Beliau adalah salah seorang dari al-Khulafa’ ar-Rasyidin dan Para Imam Mahdi. Beliau bukan yang ditunggu-tunggu kedatan...