Langsung ke konten utama

HIZBUT TAHRIR MUKTAZILAH EDISI REVISI

Abdurrohim Arief (Idrus Ramli) dalam Maqalnya yang bertajuk Muktazilah Edisi Revisi mengatakan:

"Muncul Ahlussunnah Waljamaah yang menolak [pendapat-pendapat] Muktazilah. Mereka telah mengklaim telah menjawab [pernyataan-pernyataan] Muktazilah dan Jabariyah. Namun, kenyataannya pendapat mereka dan Jabariyah adalah sama. Mereka adalah kaum Jabariyun. Mereka telahgagal dalam masalah kasb".
[ Taqiyuddin an-Nabhani, asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, juz 1 hal 53/54]

Setelah mengutip potongan dari perkataan Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani di atas Abdurrohim Arief mengatakan:

"Anda boleh tidak percaya terhadap kutipan fitnah di atas. Tentu langkah terbaik adalah menengok sendiri pada kitab aslinya. Ke- jabariyah- an Ahlussunah lebih dipertegas lagi oleh Taqiyuddin an-Nabhani [selanjutnya dicukupkan dengan an-Nabhani] dengan menampilkan sebuah rumusan dari telaah sejarah yang ia peroleh:"Adapun Ahlussunah Waljamaah tetap sama dengan Jabariyah dan hanya berbeda dalam pengungkapan dan pengutaraannya".
Apa gerangan yang melatarbelakangi lahirnya wacana provokatif an-Nabhani ini? Pendiri gerakan politik Islam Hizbut Tahrir tersebut dengan lantang memitnah Ahlussunah hinggaia sendiri terjerumus dalam penyimpangan akidah. Saya katakan 'menyimpang'karena tampak sekali perbedaan mainstream mereka dengan Ahlussunah Waljamaah. Di bawah ini adalah catatan kritis sekaligus menjadi bukti bahwaan-Nabhani dan Hizbut Tahrir merupakan penganut sekte Muktazilah, Qadariyah".

Selanjutnya Abdurrahman Arif mencoba mengutarakan sejarah terkait masalah
qadha dan qadar , terkait af'alul ikhtiyariyah dan idhtirariyah, dan terkait Muktazilah
dan Qadariyah. Dan berulang-ulang menuduh Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani minim akan pengetahuan sejarah, dan menuduh beliau telah merevisi akidah Muktazilah dengan mendistorsi sejarah. (PP Sidogiri, Majalah Ijtihad edisi 31 hal 7-8).

BANTAHAN :

Hizbut Tahrir Muktazilah Edisi Revisi?

Sebagaimana biasanya M Idrus Ramli yang berevolusi menjadi Abdurrohim Arief hanya mengutip sebagian dari redaksi kitab as-Syakhshiyah al-Islamiyah karya Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani lalu kutipan tersebut berusaha dikompromikan [dicocok-cocokan] dengan pendapatnya sendiri yang juga merupakan kutipan-kutipan dari perkataan sejumlah ulama yang dipandang mendukung pendapatnya. Padahal bisa saja fakta dan substansi pembahasan yang sedang dihadapi oleh Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani berbeda dengan fakta dan substansi pembahasan yang dihadapi oleh sejumlah ulama tersebut. Begitu juga dengan keakuratan sumber sejarah,kedalaman ilmu dan kecerdasan logika yang dimiliki oleh mereka tentu berbeda. Kemudian sejumlah perbedaan tersebut direkayasa supaya terlihat menyatu untuk mendukung sebuah rekayasa berupa kutipan sebagian redaksi kitab as-Syakhshiyah al-Islamiyah karya Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani. Kemudian akumulasi rekayasa tersebut dijadikan hujah untuk menghantam Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani dengan kitab as-Syakhshiyah al-Islamiyah -nya. Bentuk rekayasa seperti itu akan saya buktikan pada bantahan selanjutnya.

Padahal kalau kita mau membaca kitab as-Syakhshiyah al-Islamiyah secara keseluruhan, tidak sepenggal-sepenggal, tidak dipotong-potong dan tidak direkayasa seperti di atas,niscaya kita menemukan pembahasan masalah qadha dan qadar yang sangat sempurna dan memuaskah akal serta menenangkan hati, karena dimulai dari awal munculnya masalah al-qadha wal qadar, al-jabru wal ikhtiyar atau huriyatul irodah di mana semuanya itu berasal dari satu sumber, yaitu dari falsafah Yunani. Kemudian masalah tersebut diadopsi oleh Muktazilah. Kemudian bangkit Jabariyah dan Ahlussunah membantah pandangan Muktazilah, lalu Ahlussunah membantah pandangan Muktazilah dan Jabariyah. Semua pandangan terkait masalah qadha dan qadar sejak awal munculnya dibicarakan secara lengkap dan mendetail, baik pandangan Muktazilah, pandangan Jabariyah maupun pandangan Ahlussunah. Pada pembahasan tersebut tidak ada indikasi sedikitpun bahwa Syaikh Taqiyyuddinan-Nabhani telah mengadopsi atau merevisi pandangan Muktazilah, karena semuanya sama-sama dikoreksi oleh beliau, dan tidak ada satu katapun penyesatan terhadap Muktazilah, Jabariyah maupun Ahlussunah oleh beliau.

Syaikh Taqiyyuddinan-Nabhani dengan penguasaannya terhadap sejarah perkembangan ilmu kalam dan dengan ketajaman analisanya juga kedalaman ilmunya mampu memposisikan setiap permasalahan tepat pada posisinya, tidak mengacak-acak dan tidak pula mencampur-aduknya sehingga menjadi permasalahan yang carut-marut dan membingungkan. Beliau telah memposisikan masalah qadha dan qadar yang datang dari Yunani, masalah qadha dari Islam, dan masalah qadar juga dari Islam. Dan ketika beliau berbicara tentang kegagalan Ahlussunah dalam masalah kasbu , tidak berarti beliau menyesatkannya, tetapi berdasarkan fakta dari pandangan mereka yang benar-benar gagal sehingga mereka menyamai Jabariyah dalam pandangannya terkait masalah qadha dan qadar yang datang dari Yunani yang memunculkan masalah kasbu , tidak menggagalkan semua pandangan Ahlussunah. Lebih-lebih yang dianggap 'gagal' oleh beliau hanyalah Ahlussunah Mutakallimin atau Ahlulkalam, bukan Ahlus Sunah Wal Jama'ah secara keseluruhan, atau bukan Ahlus Sunah Wal Jama'ah man kana 'ala ma ana'alaihi al-yawma wa ash-habi .

Jadi sebenarnya kita ini sedang dihadapkan kepada masalah kecil dan sepele, bagian dari ilmu kalam yang tidak layak menjadi akidah, karena tidak memiliki dalil yang qath'iy, yang dibesar-besarkan oleh seseorang yang disinyalir sebagai virus liberar yang sangat pandai merekayasa, berdusta, memitnah dan memprovokasi. Lalu kita dijauhkan dari masalah besar yang selama ini sedang digeluti dan didakwahkan oleh Hizbut Tahrir barsama umat Islam yang lain.

Kemudian terkait dengan ke- Jabariyah-an Ahlussunah Mutakallimin, saya juga dapat membuktikannya melalui dua jalur yang lain, sebagi berikut ;

Pertama , perkataan ulama yang tidak diragukan lagi ke- Aswaja- annya, yaitu SyarifAli Ibn Muhammad al-Jurjani as-Syafi'iy dalam kitab Ta'rifat -nya;
ﺍﻟﺠﺒﺮﻳﺔ : ﻫﻮ ﻣﻦ ﺍﻟﺠﺒﺮ ﻭﻫﻮ ﺇﺳﻨﺎﺩ ﻓﻌﻞ ﺍﻟﻌﺒﺪ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻠﻪ، ﻭﺍﻟﺠﺒﺮﻳﺔ ﺍﺛﻨﺎﻥ : ﻣﺘﻮﺳﻄﺔ ﺗﺜﺒﺖ ﻟﻠﻌﺒﺪﻛﺴﺒﺎ ﻓﻰ ﺍﻟﻔﻌﻞ، ﻛﺎﻷﺷﻌﺮﻳﺔ، ﻭﺧﺎﻟﺼﺔ ﻻ ﺗﺜﺒﺖ ﻛﺎﻟﺠﻬﻤﻴﺔ .
"Jabariyyah; Itu diambildari kata al-Jabr [paksaan], yaitu menyandarkan pekerjaan hamba kepada Allah.Jabariyyah itu ada dua; Jabariyyah Moderat yang menetapkan
kasb pada pekerjaan hamba, seperti pengikut Asy'ari. Dan Jabariyyah Murni yang tidakmenetapkan kasb , seperti pengikut Jahem".

Jadi bukan hanya Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani yang mengatakan bahwa Ahlussunnah Mutakallimin adalah Jabariyah karena teori kasbu- nya. Dan tidak menutup kemungkinan masih banyak juga ulama yang lain yang berpandangan sama, tetapi apa yang dikemukakan oleh al-Jurjani telah mencukupi sebagai bukti.

Kedua, pandangan terkait teori kasbu dari jalur kitab Fathul Majid Syarhud Durril Farid Fi'aqaidi Ahlit Tauhid karya Syaikh Muhammad Nawawi Ibn Umar Banten, hal17, sebagai berikut ;
ﻭﻓﻲ ﺃﻓﻌﺎﻝ ﺍﻟﻌﺒﺪ ﺍﻟﺘﻲ ﺗﺴﻤﻰ ﺑﺎﻟﻜﺴﺐ ﺃﺭﺑﻌﺔ ﻣﺬﺍﻫﺐ :
1- ﻣﺬﻫﺐ ﺍﻟﻤﻌﺘﺰﻟﺔ ﻭﻳﻘﺎﻝ ﻟﻬﻢ ﺍﻟﻘﺪﺭﻳﺔ ﻭﻫﻮ ﺃﻥ ﺍﻟﻌﺒﺪ ﺧﺎﻟﻖ ﻷﻓﻌﺎﻟﻪ ﺍﻹﺧﺘﻴﺎﺭﻳﺔ ﺑﻘﺪﺭﺓ ﺧﻠﻘﻬﺎ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﻴﻪ . ﻗﺎﻟﻮﺍ ﻷﻧﻪ ﻟﻮ ﻛﺎﻥ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺧﺎﻟﻘﺎ ﻷﻓﻌﺎﻝ ﺍﻟﻌﺒﺪ ﻟﻜﺎﻥ ﻫﻮ ﺍﻟﻘﺎﺋﻢ ﻭﺍﻟﻘﺎﻋﺪ ﻭﺍﻵﻛﻞ ﻭﺍﻟﺸﺎﺭﺏ ﺇﻟﻰ ﻏﻴﺮ ﺫﻟﻚ .......
2- ﻭﻣﺬﻫﺐ ﺍﻟﺠﺒﺮﻳﺔ، ﻭﻫﻢ ﻓﺮﻗﺔ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﻌﺘﺰﻟﺔ، ﻭﻫﻮ ﺃﻥ ﺍﻟﻌﺒﺪ ﻣﺠﺒﻮﺭ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻔﻌﻞ ﻇﺎﻫﺮﺍ ﻭﺑﺎﻃﻨﺎ،ﻭﻟﻴﺲ ﻟﻪ ﻓﻌﻞ ﺃﺻﻼ، ﻭﻻ ﺍﺧﺘﻴﺎﺭ ﻟﻪ ﻓﻲ ﺻﺪﻭﺭ ﺟﻤﻴﻊ ﺃﻓﻌﺎﻟﻪ ﻋﻨﻪ، ﻓﻬﻮ ﻛﺮﻳﺸﺔ ﻣﻌﻠﻘﺔ ﻓﻲ ﺍﻟﻬﻮﺍﺀ ﺗﻤﻴﻠﻬﺎ ﺍﻟﺮﻳﺎﺡ ﻳﻤﻴﻨﺎ ﻭﺷﻤﺎﻻ ..........
3- ﻭﻣﺬﻫﺐ ﺍﻟﻔﻼﺳﻔﺔ، ﻭﻫﻮ ﺃﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺧﻠﻖ ﻟﻠﻌﺒﺪ ﻗﺪﺭﺓ ﻣﺆﺛﺮﺓ ﺑﻄﺮﻳﻖ ﺍﻹﻳﺠﺎﺩ .
4- ﻭﻣﺬﻫﺐ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺴﻨﺔ، ﻭﻫﻮ ﺃﻧﻪ ﻟﻴﺲ ﻟﻠﻌﺒﺪ ﻓﻲ ﺍﻷﻓﻌﺎﻝ ﺍﻹﺧﺘﻴﺎﺭﻳﺔ ﺇﻻ ﺍﻟﻜﺴﺐ، ﻓﻠﻴﺲ ﻟﻠﻌﺒﺪ ﺗﺄﺛﻴﺮﻣﺎ، ﻓﻬﻮ ﻣﺠﺒﻮﺭ ﺑﺎﻃﻨﺎ ﻭﻣﺨﺘﺎﺭ ﻇﺎﻫﺮﺍ، ﻭﻟﻴﺲ ﻓﻌﻞ ﺍﻟﻌﺒﺪ ﺑﺎﻹﺟﺒﺎﺭ ﺍﻟﻤﺤﺾ، ﻭﻻﺑﺎﻹﺧﺘﻴﺎﺭ ﺍﻟﻤﺤﺾ، ﺑﻞ ﺃﻣﺮ ﺑﻴﻦ ﺍﻷﻣﺮﻳﻦ ....
"Terkait pekerjaan hamba yang dinamai kasbu terdapat empat madzhab:

1-Madzhab Muktazilah Qadariyah, yaitu bahwa hamba menciptakan pekerjaan ikhtiarnya dengan qudrot yang telah diciptakan oleh Allah padanya. Mereka berkata; Karena kalau Allah SWT yang menciptakan pekerjaan hamba, maka Allah-lah yang berdiri, yang duduk, yang makan, yang minum dlsb………

2-Madzhab Jabariyah. Mereka adalah kelompok Muktazilah, yaitu bahwa hamba itu dipaksa atas pekerjaannya lahir dan batin. Ia sama sekali tidak memiliki pekerjaan dan tidak pula memiliki ikhtiar dalam semua pekerjaan yang keluar darinya. Maka ia laksana sehelai bulu yang tergantung di udara tertiup angin ke kanan dan kekiri……….

3-Madzhab falsafat, yaitu bahwa Allah SWT telah menciptakan qudrot yang berpengaruh melaui jalan pengadaan.

4-Madzhab Ahlussunah, yaitu bahwasanya tidak ada bagi hamba pada pekerjaan ikhtiarnya kecuali kasbu, maka hamba tidak memiliki pengaruh apapun. Ia dipaksa secara batin dan ikhtiar secara lahir . Dan pekerjaan hamba itu tidak dengan paksaan murni dan tidak pula dengan ikhtiar murni, tetapi perkara di antara dua perkara".

Jadi pandangan Ahlussunah yang seperti itu yang dianggap sama dengan pandangan Jabariyah dan yang berbeda hanya redaksinya. Juga teori kasbu seperti itu yang dianggap gagal [dan tidak dianggap sesat] oleh Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani. Karena bagaimana ia melakukan pekerjaan ikhtiar kalau secara batin dipaksa oleh Allah. Padahal lahir manusia itu tidak akan dapat bekerja tanpa adanya kehidupan atau dorongan batin. Ini sama halnya dengan perkataan ;"Saya mencuri, tetapi secara batin saya dipaksa oleh Allah untuk mencuri. Saya berzina, tetapi secara batin saya dipaksa oleh Allah untuk berzina", dan seterusnya. Pandangan Ahlussunah yang seperti itu sering dijadikan alasan bagi kebanyakan orang untuk meninggalkan kewajiban dan melakukan kemaksiatan dan kemunkaran. Fakta seperti ini benar-benar terjadi di tengah-tengah masyarakat nahdhiyin. Mereka menamakan pandangan tersebut dengan nama Ilmu Hakekat. Ketika mereka diajak berbicara terkait kerusakan perilaku umat Islam yang kian hari kian parah dan diajak memperbaikinya, mereka hanya menjawab;"Itu sudah menjadi qadha dan qadar Allah, kita ini tidak dapat berbuat apa-apa", dan seterusnya.

Sekarang perhatikan perkataan Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani berikut;
ﻓﻬﺬﺍﺍﻟﻜﻼﻡ ﺗﺼﻮﺭﻩ ﺍﻟﺒﺎﺣﺜﻮﻥ ﺗﺼﻮﺭﺍ، ﻭﻓﺮﺿﻮﻩ ﻓﺮﺿﺎ، ﻭﻻ ﻭﺍﻗﻊ ﻟﻪ ﺣﺴﺎ، ﻭﻟﻜﻨﻬﻢ ﺃﻋﻄﻮﺍ ﺍﻟﻌﻘﻞ ﺣﺮﻳﺔ ﺍﻟﺒﺤﺚ، ﻓﺒﺤﺚ ﻫﺬﺍ ﺍﻷﻣﺮ، ﻭﻭﺟﺪ ﻟﺪﻳﻪ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺘﺼﻮﺭ، ﻓﺄﻭﺟﺒﻮﺍ ﺍﻹﻳﻤﺎﻥ ﺑﻤﺎ ﺗﺼﻮﺭﻭﻩ ﻭﺃﻃﻠﻘﻮﺍ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﺳﻢ ﺍﻟﻜﺴﺐ ﻭﺍﻹﺧﺘﻴﺎﺭ . ﻭﻟﻮ ﺟﻌﻞ ﺍﻟﻌﻘﻞ ﻳﺒﺤﺚ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﺤﺴﻮﺳﺎﺕ ﻭﺣﺪﻫﺎ،ﻷﺩﺭﻛﻮﺍ ﺃﻥ ﺧﻠﻖ ﺍﻟﻔﻌﻞ ﻣﻦ ﺣﻴﺚ ﺇﻳﺠﺎﺩ ﻣﻮﺍﺩﻩ ﺇﻧﻤﺎ ﻫﻮ ﻣﻦ ﺍﻟﻠﻪ، ﻷﻥ ﺍﻟﺨﻠﻖ ﻣﻦ ﺍﻟﻌﺪﻡ ﻻﻳﺘﺄﺗﻰ ﺇﻻ ﻣﻦ ﺍﻟﺨﺎﻟﻖ، ﺃﻣﺎ ﻣﺒﺎﺷﺮﺓ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﻤﻮﺍﺩ ﻭﺇﻳﺠﺎﺩ ﺍﻟﻔﻌﻞ ﻣﻨﻬﺎ ﻓﻬﻮ ﻣﻦ ﺍﻟﻌﺒﺪ ﻛﺄﻱ ﺻﻨﺎﻋﺔ ﻳﻘﻮﻡ ﺑﻬﺎ، ﻛﺼﻨﺎﻋﺔ ﺍﻟﻜﺮﺳﻲ ﻣﺜﻼ . ﻭﻟﻮ ﺟﻌﻠﻮﺍ ﺍﻟﻌﻘﻞ ﻳﺒﺤﺚ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﺤﺴﻮﺳﺎﺕ ﻭﺣﺪﻫﺎ ﻟﻤﺎ ﺁﻣﻨﻮﺍ ﺑﻜﺜﻴﺮ ﻣﻦ ﺍﻟﻮﻫﻤﻴﺎﺕ ﻭﺍﻟﻔﺮﻭﺽ ﺍﻟﻨﻈﺮﻳﺔ .
"Perkataan ini telah digambarkan oleh para peneliti, dan mereka memperkirakannya, padahal tidak memiliki realita yang terindra. Akan tetapi mereka memberikan kepada akal kebebasan meneliti, lalu akal meneliti perkara ini dan menemukan gambar dihadapannya. Lalu mereka mewajibkan iman kepada perkara yang telah digambarkannya, dan mengucapkan kepadanya nama kasb dan ikhtiyar. Andaikan saja mereka menjadikan akal hanya membahas pada perkara yang tersentuh oleh indra, niscaya mereka menemukan bahwa penciptaan perbuatan dari sisi pengadaan semua materinya itu hanya dari Allah, karena penciptaan dari tidak ada itu tidak mudah kecuali dari al-Khaliq. Adapun pelaksanaan materi dan pengadaan perbuatan daripadanya, maka itu dari hamba, seperti layaknya pertukangan yang iakerjakan, contohnya seperti membuat kursi. Dan seandainya mereka menjadikan akal hanya meneliti pada perkara yang tersentuh indra, niscaya mereka tidak mengimani banyak perkara dari imajinasi dan hipotesa". (Taqiyyuddin an-Nabhani, asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, juz 1, hal 63-64, cetakan ke 7, 2003 M).

Padahal kita telah mengerti bahwa "Iman adalah pembenaran yang teguh, yang sesuai dengan fakta, yang berdasar dalil [yang qath'iy]". Lalu bagaimana sesuatu yang lahir dari imajinasi dan hipotesa, seperti masalah kasbu dab ikhtiyar , bisa digolongkan ke dalam akidah? Kita sudah cukup, dan tidak akan berdosa, ketika memasukkan masalah ini kedalam polemik yang terjadi diantara Mutakallimin [Muktazilah, Jabariyyah dan Ahlussunnah], tidak memasukkannya kedalam akidah, dan kita mencukupkan diri dengan mengimani shifat wahdaniyah,[1] dan tidak berlebihan memasuki pembahasan ilmu kalam yang penuh dengan imajinasi dan hipotesa..
[1]karena masalah kasbu dan ikhtiyar ini oleh mutakallimin dimasukkan ke dalam pembahasan shifat wahdaniyah. Ini menunjukkan bahwa qadha dan qadar yang dibahas oleh mereka itu qadha dan qadar yang datang dari Yunani, karena terkait qadar yang datang dari Islam mereka memasukkannya ke dalam pembahasan shifat ilmu, lihat kitah al-Hushun al-Hamidiyyah, hal 125-126, cetakan al-Hidayah, Surabaya).

Berbeda ketika kita menelaah dan memahami pandangan Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani terkait masalah qadha dan qadar dari kitab Nizhamul Islam sampai as-Syakhshiyyahal-Islamiyyah , maka alasan-alasan destruktif seperti di atas tidak ada sama sekali, dan tidak terbuka untuknya sama sekali. Pandangan beliau mampu membangkitkan semangat beramal shaleh termasuk berdakwah menuju penerapan syariat Islam secara kaffah. Karena pandangannya tidak condong ke Muktazilah dan tidak pula condong ke Jabariyah, dan mampu memposisikan pekerjaan hamba pada posisinya, yaitu mana pekerjaan yang masuk kedalam wilayah qadha dan mana pekerjaan yang masuk ke dalam wilayah qadar. Perlu diperhatikan masalah qadha dan qadar disini adalah yang datang dari peradaban Yunani.

Kalaupun ditemukan adanya kesamaan antara pandangan Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani dan Muktazilah atau Jabariyah, maka tidak berarti bahwa pandangan Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani sama persis dengan pandangan Muktazilah dan Jabariyah, karena perbedaannya juga banyak, sebagaimana terdapat banyak kesamaan pandangan beliau dengan pandangan Ahlussunah. Karena baik Muktazilah, Jabariyah dan Ahlussunah semuanya adalah kaum muslim yang Tuhan dan Rasulnya sama, rukun iman dan Islamnya sama, shalat dan puasanya sama, ininya sama dan itunya sama. Jadi adanya kesamaan dalam kebenaran [haqq] di antara mereka adalah fitrah Islam, sedangkan perbedaan yang ada adalah rahmat. Jadi sangat berlebihan dan mengada-ada kesimpulan Abdurrahim Arif sebagai kedok dari M Idrus Ramli yang menyama-persiskan Syaikh Taqiyyuddinan-Nabhani dan HIzbut Tahrir dengan Muktazilah dan menganggapnya sebagai Muktazilah Edisi Revisi. Padahal saya juga banyak menemukan dari berbagai tulisan Idrus Ramli kesamaan-kesamaan dengan Muktazilah dan Wahabi/Salafi kontra Hizbut Tahrir atau anti penegakkan khilafah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENGENAL ULAMA YANG ASWAJA

Bismillaahir Rohmaanir Rohiim   Al-‘ulama’ secara bahasa ialah bentuk jamak (plural) taksir (yang telah berubah dari huruf asalnya) dari kata al-‘aliim, yaitu orang yang memiliki ilmu, seperti kata al-kariim menjadi al-kuroma’ dan al-amiin menjadi al-umana’. Adapun kata al-‘aalim, maka bentuk jamak taksirnya menjadi al-’allaam, sedang bentuk jamak mudzakarnya (yang menunjukkan arti laki-laki) ialah al-‘aalimuun. Al-‘ulama’ adalah mereka yang memiliki ilmu agama secara khusus, atau mereka yang memiliki ilmu ketuhanan secara khusus. Sedangkan al-‘aalimuun adalah mereka yang memiliki ilmu agama dan ilmu dunia secara umum.   Ulama itu ada dua macam: Ulama akhirat dan ulama dunia.   Pertama: Ulama akhirat   Ulama akhirat adalah ulama shalihun yang mengamalkan ilmunya. Mereka adalah lentera dunia, pewaris Nabi saw dan pewaris nabi-nabi sebelumnya, penerus (khalifah) para nabi, kepercayaan umat dan kepercayaan Allah swt atas makhluknya. Mengenai mereka, Rasulullah saw ...

Idrus Ramli Menantang Debat Abulwafa Romli?! (Ke - 1)

Oleh : BuAhmad Abdulloh NASEHAT TERBUKA UNTUK USTADZ ABULWAFA ROMLI Assalamu’alaikum wr wb. Bismillaahir Rahmaanir Rahiim Menimbang: 1. Setelah ana mengikuti perkembangan tantangan debat terbuka dari kubu M Idrus Ramli ( bukan dari M Idrus Ramli sendiri ) yang disampaikan kepada ustadz Abulwafa Romli melalui jejaring sosial ini, dan setelah hamba membaca dan mempelajari buku Hizbut Tahrir dalam Sorotan dan Jurus Ampuh Membungkam HTI, dan setelah hamba membaca dan mempelajari berbagai bantahan ustadz Abulwafa Romli terhadap keduanya, yaitu dalam buku Membongkar Pemikiran Aswaja Topeng 1, bantahan atas buku Hizbut Tahrir dalam Sorotan, dan buku Membongkar Pemikiran Aswaja Topeng 2, edisi Kesalahan Logika Kaum Liberal, dan dalam berbagai tulisannya yang lain. 2. Setelah ana mengenal karakter M Idrus Ramli yang suka (dengan meminjam kalimat ustadz Abulwafa Romli) merekayasa, berdusta, memitnah dan memprovokasi terhadap Syaikh Taqiyyuddien an-Nabhani dan Hizbut Tahrir yang didirikannya, da...

PERNYATAAN ULAMA ASWAJA TERKAIT IMAM MAHDI

Bismillaahir Rohmaanir Rohiim Al-Hafidz Abul Hasan al-Abari berkata: “Sungguh hadis-hadis terkait akan keluarnya Imam Mahdi telah mencapai mutawatir karena banyak yang meriwayatkannya dari Mushthafa SAW di mana beliau termasuk ahli baitnya, berkuasa selama tujuh tahun, memenuhi dunia dengan keadilan, akan keluar bersama Nabi Isa AS, lalu Nabi Isa membantunya membunuh Dajjal di pintu lud wilayah Palestina, dan beliau akan memimpin umat Islam, dan Nabi Isa akan shalat di belakangnya”. (Tahdzib al-Tahdzib, juz 9, hal. 144). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Hadits-hadits yang dijadikan hujah atas keluarnya Imam Mahdi adalah hadis-hadis shahih riwayat Abu Daud, Tirmidzi, Ahmad dll.” (Minhajus Sunnah an-Nabawiyyah, juz 4, hal. 95). Al-Hafidz Ibnu Katsir berkata: “Fasal terkait penjelasan Imam Mahdi yang akan keluar pada akhir zaman. Beliau adalah salah seorang dari al-Khulafa’ ar-Rasyidin dan Para Imam Mahdi. Beliau bukan yang ditunggu-tunggu kedatan...