Oleh: Ie Aina Khoiriyah
KESESATAN-KESESATAN HIZBUT TAHRIR
(Mengungkap kekeliruan buku WAMY)
PART 1: ORANG KAFIR DIPERBOLEHKAN MENJADI ANGGOTA HIZB DAN WANITA DIPERBOLEHKAN MENJADI ANGGOTA MAJLIS SYURA
Statement ini merupakan kedustaan yang ditikamkan kepada Hizbut Tahrir. Pasalnya, Hizbut Tahrir telah melarang orang kafir menjadi anggotanya. Pendirian Hizbut Tahrir seperti ini didasarkan pada firman Allah swt;
ﻭَﻟْﺘَﻜُﻦْ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﺃُﻣَّﺔٌ ﻳَﺪْﻋُﻮﻥَ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟْﺨَﻴْﺮِ ﻭَﻳَﺄْﻣُﺮُﻭﻥَ ﺑِﺎﻟْﻤَﻌْﺮُﻭﻑِ ﻭَﻳَﻨْﻬَﻮْﻥَ ﻋَﻦِ ﺍﻟْﻤُﻨْﻜَﺮِ ﻭَﺃُﻭﻟَﺌِﻚَ ﻫُﻢُ ﺍﻟْﻤُﻔْﻠِﺤُﻮﻥَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”. [TQS Ali Imron (3):104]
Imam Ibnu Katsir menyatakan, “Maksud ayat ini adalah, hendaknya ada kelompok (firqah) dari umat ini (umat Islam) yang siap sedia menjalankan tugas tersebut (dakwah menuju Islam dan amar makruf nahi ‘anil mungkar), walaupun (dakwah menuju Islam dan amar makruf nahi ‘anil mungkar) juga kewajiban setiap individu umat ini; sebagaimana telah ditetapkan di dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah ra, bahwasanya ia berkata, “Rasulullah saw bersabda, “
" ﻣَﻦْ ﺭَﺃَﻯ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﻣُﻨْﻜَﺮًﺍ ﻓَﻠْﻴُﻐَﻴِّﺮْﻩُ ﺑِﻴَﺪﻩ، ﻓَﺈﻥْ ﻟَﻢْ ﻳَﺴْﺘَﻄِﻊْ ﻓَﺒِﻠِﺴَﺎﻧِﻪِ، ﻓَﺈﻥْ ﻟَﻢْ ﻳَﺴْﺘَﻄِﻊْ ﻓَﺒِﻘَﻠْﺒِﻪِ، ﻭَﺫَﻟِﻚَ ﺃﺿْﻌَﻒُ ﺍﻹﻳﻤَﺎﻥِ ." ﻭﻓﻲ ﺭﻭﺍﻳﺔ : " ﻭَﻟَﻴْﺲَ ﻭَﺭَﺍﺀَ ﺫَﻟِﻚَ ﻣِﻦَ ﺍﻹﻳﻤَﺎﻥِ ﺣَﺒَّﺔُ ﺧَﺮْﺩَﻝٍ " .
“Siapa saja diantara kalian yang menyaksikan kemungkaran, hendaknya ia ubah dengan tangannya. Jika ia tidak mampu (mengubah dengan tangan) hendaknya dengan lisannya. Dan jika ia tidak mampu (mengubah dengan lisannya), hendaknya dengan hatinya”. Di dalam riwayat lain dituturkan, ”Setelah itu tidak ada keimanan seberat biji gandum pun”.[HR. Imam Muslim dari Abu Musa al-Asy’ariy]
Di dalam Tafsir al-Thabariy disebutkan, ”Abu Ja’far menyatakan, ”..yakni adanya jamaa’ah (kelompok) yang menyeru manusia menuju kebaikan, yakni Islam dan syariat Islam yang telah disyariatkan Allah atas hambaNya; dan melakukan amar ma’ruf nahi ’anil mungkar; yakni memerintahkan manusia untuk mengikuti Nabi Mohammad saw, dan agamanya yang berasal dari sisi Allah swt; dan mencegah kemungkaran; yakni mereka mencegah dari ingkar kepada Allah, serta (mencegah) mendustakan Nabi Mohammad saw dan ajaran yang dibawanya dari sisi Allah....”
Imam Ali Al-Shabuniy menyatakan, ”Maksudnya, hendaknya dirikanlah kelompok (thaaifah) dari kalian (umat Islam) untuk berdakwah menuju Allah, dan untuk mengajak kepada setiap kebajikan dan mencegah dari setiap kemungkaran”.
Berdasarkan penjelasan di atas dapatlah disimpulkan, bahwa jama’ah atau kelompok yang bertugas menyeru kepada Islam dan melakukan amar makruf nahi ’anil mungkar adalah ”jama’ah” atau ”kelompok” yang berasal dari kaum Muslim, bukan dari kaum kafir. Frase ”minkum” pada ayat di atas merujuk kepada kaum Muslim, bukan merujuk kepada non Muslim. Semua ini menunjukkan bahwa ”jama’ah” tersebut harus beranggotakan orang-orang Muslim, bukan orang-orang kafir. Dengan demikian, gerakan, partai, atau kelompok Islam tidak boleh (haram) menerima orang-orang kafir sebagai anggotanya.
Selain itu, tugas utama dari gerakan tersebut adalah ”menyeru kepada Islam dan melakukan amar makruf nahi ’anil mungkar”. Tugas semacam ini, tentunya, tidak mungkin dipikul oleh orang-orang kafir yang justru menjadi ”obyek” yang diseru dakwah Islam. Oleh karena itu, keanggotaan orang-orang kafir di dalam ”gerakan atau partai Islam” bertentangan dengan esensi dan tugas dari gerakan Islam yang telah digariskan oleh Allah swt dalam surat Ali Imron ayat 104.
Wanita Diperbolehkan Menjadi Anggota Syura
Hizbut Tahrir memang berpendapat bahwa seorang wanita boleh menjadi anggota majelis syura. Pasalnya, aktivitas majelis syura tidak termasuk ke dalam aktivitas kekuasaan (al-hukm), di mana wanita dilarang menduduki jabatan tersebut. Majelis syura hanyalah representasi dari tugas syura (musyawarah) dan muhasabah (koreksi). Laki-laki dan wanita berhak menjalankan tugas ini (syura dan muhasabah). Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Ka’ab bin Malik; bahwasanya Nabi saw didatangi 75 orang, 73 laki-laki dan 2 orang perempuan. Lalu, mereka membai’at Nabi saw pada Bai’at ’Aqabah II. Bai’at ’Aqabah II ini disebut juga dengan bai’at perang. Setelah mereka selesai berbai’at, Nabi saw bersabda kepada mereka, ”Pilihlah untukku 12 orang wakil dari kalian, dan mereka akan menjadi bertanggung jawab atas kaumnya”. Sabda Nabi saw ini merupakan perintah kepada semua orang yang hadir di situ, baik laki-laki maupun wanita, agar mereka memiliki wakil dari kaumnya. Beliau tidak mengkhususkan perintahnya hanya untuk kaum laki-laki saja. Perintah ini menunjukkan bahwa wanita diberi hak oleh Nabi saw untuk memilih wakil dari kaumnya. Jika seorang wanita diberi hak menyampaikan pendapat dan aspirasinya, tentunya ia juga berhak mengangkat seseorang untuk mewakili aspirasi-aspirasinya dalam urusan pemerintahan maupun non pemerintahan.
Di samping itu al-Quran juga menuturkan bai’atnya wanita-wanita Mukminat kepada Nabi saw. Peristiwa ini menunjukkan bahwa wanita memiliki hak untuk menyampaikan aspirasi-aspirasinya dalam persoalan pemerintahan. Allah swt berfirman;
ﻳَﺎﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ ﺇِﺫَﺍ ﺟَﺎﺀَﻙَ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨَﺎﺕُ ﻳُﺒَﺎﻳِﻌْﻨَﻚَ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﻥْ ﻟَﺎ ﻳُﺸْﺮِﻛْﻦَ ﺑِﺎﻟﻠَّﻪِ ﺷَﻴْﺌًﺎ ﻭَﻟَﺎ ﻳَﺴْﺮِﻗْﻦَ ﻭَﻟَﺎ ﻳَﺰْﻧِﻴﻦَ ﻭَﻟَﺎ ﻳَﻘْﺘُﻠْﻦَ ﺃَﻭْﻟَﺎﺩَﻫُﻦَّ ﻭَﻟَﺎ ﻳَﺄْﺗِﻴﻦَ ﺑِﺒُﻬْﺘَﺎﻥٍ ﻳَﻔْﺘَﺮِﻳﻨَﻪُ ﺑَﻴْﻦَ ﺃَﻳْﺪِﻳﻬِﻦَّ ﻭَﺃَﺭْﺟُﻠِﻬِﻦَّ ﻭَﻟَﺎ ﻳَﻌْﺼِﻴﻨَﻚَ ﻓِﻲ ﻣَﻌْﺮُﻭﻑٍ ﻓَﺒَﺎﻳِﻌْﻬُﻦَّ ﻭَﺍﺳْﺘَﻐْﻔِﺮْ ﻟَﻬُﻦَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻏَﻔُﻮﺭٌ ﺭَﺣِﻴﻢٌ
“Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatupun dengan Allah; tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. [TQS AlMumtahanah (60):12]
Dituturkan juga dari Umar bin Khaththab ra, bahwasanya, tatkala beliau tertimpa suatu masalah --baik yang berhubungan dengan hukum syariat, masalah pemerintahan, atau tugas-tugas kenegaraan--, beliau mengundang kaum Muslim, baik laki-laki maupun wanita, ke dalam masjid. Beliau ra meminta pendapat dari orang-orang yang hadir di situ. Suatu saat, beliau ra menganulir pendapatnya ketika ada seorang wanita menolak pendapatnya mengenai pembatasan mahar. Riwayat ini semakin menegaskan bahwa wanita Muslimah boleh menyampaikan pendapat dan aspirasinya dalam masalah hukum syariat, pemerintahan, maupun urusan-urusan kenegaraan lainnya. Mereka juga berhak mengangkat wakil untuk menyuarakan aspirasi dan pendapatnya. Sebab, wakalah boleh dilakukan dalam hal aspirasi dan pendapat.
Orang-orang kafir juga berhak menjadi anggota majelis umat sebagaimana kaum Muslim, untuk mewakili orang-orang yang memilihnya. Akan tetapi, hak mereka dibatasi. Mereka hanya diperbolehkan menyampaikan keluhan-keluhan yang berkaitan dengan buruknya penerapan Islam kepada mereka, atau tindakan-tindakan dzalim yang dilakukan oleh penguasa Islam. Umar bin Khaththab pernah menerima pengaduan yang dilakukan oleh orang kafir yang dianiaya dan dirampas tanahnya oleh pejabat kaum muslim. Pengaduan ini diterima oleh Umar dan beliau ra segera mengambil tindakan tegas terhadap penyimpangan yang dilakukan oleh pejabatnya.
Orang kafir tidak memiliki hak untuk menyampaikan pendapat dan aspirasinya dalam masalah hukum syariat. Pasalnya, mereka adalah orang-orang kafir yang belum memeluk agama Islam, sehingga dilarang menyampaikan pendapat dan aspirasinya dalam masalah tersebut (hukum syariat). Mereka juga tidak memiliki hak memilih dan mencalonkan seseorang menjadi khalifah. Sebab, Allah swt melarang kaum Muslim memberi jalan kepada kaum kafir untuk menguasai kaum Muslim. Allah swt berfirman;
ﻭَﻟَﻦْ ﻳَﺠْﻌَﻞَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻟِﻠْﻜَﺎﻓِﺮِﻳﻦَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨِﻴﻦَ ﺳَﺒِﻴﻠًﺎ
”..dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman”. [TQS An Nisaa’ (4):141]
Komentar
Posting Komentar