Bismillaahir Rohmaanir Rohiim
Pada tulisan terdahulu, ‘Khilafah Adalah Doktrin Politik Aswaja’, saya belum menjelaskan definisi khilafah beserta dalil-dalil syar’iy-nya secara lengkap, yang meliputi al-Qur’an, as-Sunnah, al-Ijma’ dan al-Qiyas, juga dengan pernyataan ulama. Oleh karena itu, saya menganggap penting mengemukakannya disini. Dan definisi khilafah disini adalah yang terbaik, karena disamping harus jaami’ (komprehensif / lengkap) dan maani’ (mencegah masuknya selain yang didefinisikan), juga sesuai realita daulah nubuwwah dan khilafah rasyidah mahdiyyah, dan juga bisa mewakili dan memasukkan semua definisi dari para ulama yang lain, dimana satu persatunya tidak mungkin saya kemukakan disini.
Definisi Khilafah:
اَلْخِلَافَةُ هِيَ رِئَاسَةٌ عَامَّةٌ لِلْمُسْلِمِيْنَ جَمِيْعًا فِي الدُّنْيَا، لِإِقَامَةِ أَحْكَامِ الشَّرْعِ الْإِسْلَامِيِّ، وَحَمْلِ الدَّعْوَةِ الْإِسْلَامِيَّةِ إِلَى الْعَالَمِ .
“Khilafah ialah kepemimpinan umum bagi semua kaum muslim di dunia, untuk menegakkan hukum-hukum (syariat) Islam, dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia”.
(Doktor Mahmud al-Khalidy, Qawaaid Nidzam al-Hukm fi al-Islam, hal. 229-230, Maktabah al-Muhtasib, Taqiyyudin al-Nabhani, al-Khilafah, hal. 2, dll).
Dengan definisi ini, khilafah adalah bentuk negara yang unik dimana baik sebelum maupun sesudahnya tidak ada bentuk negara seperti khilafah, bahkan orang Arab sekalipun sama sekali tidak mengenal bentuk negara lain seperti khilafah. Keunikan khilafah sebenarnya terletak pada tiga karakternya, (1) kepemimpinan bagi seluruh kaum muslim di dunia, (2) untuk menegakkan hukum-hukum (syariat) Islam, dan (3) untuk mengemban dakwah Islam keseluruh dunia (dengan jihad sebagai metode pelindungnya). Dan dengan definisi khilafah diatas, masuknya bentuk negara lain, seperti teokrasi dan demokrasi dengan segala macamnya, menjadi tercegah, karena tidak ada satupun yang memiliki tiga karakter tersebut.
Juga dengan khalifahnya, adalah model kepala negara yang unik, yang memiliki tiga karakter sekaligus, (1) pemimpin bagi seluruh kaum muslim di dunia, (2) penegak hukum-hukum (syariat) Islam, dan (3) pengemban dakwah Islam keseluruh dunia (dengan jihad sebagai metode pelindungnya). Maka semua kepala negara, baik presiden, perdana menteri, kaisar, bahkan raja sekalipun tidak ada satupun yang memiliki tiga karakter tersebut. Dari definisi itu juga dapat difahami bahwa bentuk sistem khilafah adalah sistem kesatuan yang mencegah masuknya bentuk sistem negara lain seperti sistem republik, monarsi, federasi dan kekaisaran.
Dalil-Dalil Fardlunya Menegakkan Khilafah
Pertama; Al-Qur’an:
Di antaranya Alloh swt berfiman:
فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ ...
“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu…”. QS al-Maidah[5]: 48.
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَائَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوْكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللهُ إِلَيْكَ ...
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka, dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu…”. QS al-Maidah[5]: 49. Dan ayat-ayat yang lain.
Metode Pengambilan Dalil:
Sesungguhnya seruan (khithab) Alloh swt kepada Rasul-Nya agar memutuskan perkara diantara manusia menurut apa yang diturunkan Alloh adalah seruan kepada umatnya, selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya, dan di sini dalil itu tidak, maka menjadi seruan kepada kaum muslim agar mereka mewujudkan penguasa setelah Rasulullah saw untuk memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang telah diturunkan Allah swt. Perintah pada seruan tersebut berfaidah tegas (al-jazm), dan ini adalah indikasi (qarinah) atas ketegasan, yang berkonotasi wajib (fardlu), sebagaimana telah ditetapkan dalam ushul fikih. Sedangkan penguasa yang memutuskan perkara di antara kaum muslim menurut apa yang diturunkan Alloh setelah Rasululloh swt adalah khalifah. Maka atas dasar ini, system pemerintahannya adalah sistem khilafah.
Disamping itu, sesungguhnya menegakkan hudud dan hukum-hukum yang lain adalah wajib, dan itu tidak dapat ditegakkan kecuali dengan adanya penguasa. Kaidah ushul mengatakan; “Maa laa yatimmu al-waajib illa bihi fahuwa waajibun” (Sesuatu yang perkara wajib tidak dapat sempurna kecuali dengannya, maka sesuatu itu adalah wajib), yakni mewujudkan penguasa yang menegakkan syariat adalah wajib. Penguasa yang dikehendaki disini adalah khalifah, dan sistem pemerintahannya adalah sistem khilafah.
Dan juga Alloh swt telah memardlukan atas kaum muslim agar taat kepada ulil amri, yakni kepada penguasa. Ini menunjukkan atas kewajiban mewujudkan ulil amri atas kaum muslim. Alloh swt berfirman:
يَا أَيُهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا أَطِيْعُوا اللهَ وَأَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَأُوْلِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ...
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu". QS An-Nisa [4]: 59
Alloh swt tidak akan pernah menyuruh menaati orang yang tidak ada wujudnya, maka ayat itu menunjukkan atas hukum mewujudkan ulil amri, dan hukum mewujudkan ulil amri ini bukan sunah atau mubah, tapi wajib, karena memutuskan perkara sesuai hukum yang telah diturunkan oleh Alloh swt adalah wajib. Dengan kata lain, ketika Alloh swt telah menyuruh untuk menaati ulil amri, maka artinya Alloh telah menyuruh untuk mewujudkannya. Sebab wujudnya ulil amri itu berdampak pada penegakkan hukum syara’, dan meninggalkan mewujudkannya itu berdampak pada penyia-nyiaan hukum syara’, berarti mewujudkan ulil amri adalah wajib, karena dengan ketiadaannya berdampak pada hukum haram, yaitu menyia-nyiakan hukum syara’.
Kedua; As-Sunnah:
Di antaranya, Rasululloh SAW bersabda:
مَنْ خَلَعَ يَدًّا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا حُجَّةَ لَهُ، وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً . رواه مسلم عن ابن عمر رضي الله عنهما
"Barang siapa yang melepas tangan dari ketaatan (kepada khalifah), maka dia akan bertemu Allah pada hari kiamat tanpa ada hujah baginya. Dan barang siapa yang mati tanpa memikul baiat di pundaknya, maka ia mati jahiliyah". HR Muslim.
Metode Pengambilan Dalil:
Sesungguhnya Rasulullah saw telah mewajibkan atas setiap muslim agar memikul baiat dipundaknya, dan telah menyifati orang yang mati dalam kondisi tidak memikul baiat di pundaknya bahwa ia mati jahiliyah. Sedang baiat sesudah Rasululloh saw itu hanya kepada khalifah, tidak kepada yang lain. Maka hadis tersebut telah mewajibkan wujudnya baiat pada pundak setiap muslim, tidak mewajibkan agar setiap muslim membaiat khalifah. Jadi yang wajib adalah wujudnya baiat pada pundak setiap muslim, yakni wujudnya khalifah yang dengannya di pundak setiap muslim ada baiat. Jadi wujudnya khalifah itulah yang mewujudkan baiat pada pundak setiap muslim, sama saja ia membaiat secara riil atau ia tidak membaiatnya. Oleh karena itu, hadits tersebut adalah dalil atas wajibnya mengangkat khalifah, bukan dalil atas wajibnya membaiat khalifah dari setiap individu, karena sesuatu yang dicela oleh Rasulullah saw adalah kosongnya pundak seorang muslim dari baiat sampai ia mati, dan tidak mencela tiadanya baiat. Sedangkan arti adanya baiat dipundak setiap muslim adalah adanya khalifah yang telah dibaiat oleh ahlulhalli wal‘aqdi dengan baiat in’iqad.
Dan Rasululloh SAW bersabda:
إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ . رواه مسلم عن أبي هريرة
“Sesungguhnya Imam (khalifah) adalah perisai di mana (mereka) berperang dari belakangnya dan berlindung dengannya”. HR Bukhari dan Muslim.
Metode Pengambilan Dalil:
Pada hadis ini terdapat sifat bagi khalifah bahwa ia adalah perisai. Penyifatan Rasululloh saw bahwa khalifah itu perisai adalah berita yang mengandung pujian bagi wujudnya khalifah, maka termasuk tuntutan (thalab), karena berita dari Alloh swt dan dari Rasululloh saw, ketika mengandung celaan, maka termasuk tuntutan meninggalkan (thalabu tarkin), yaitu larangan (nahi), dan ketika mengandung pujian, maka termasuk tuntutan mengerjakan (thalabu fi’lin). Lalu apabila pekerjaan yang dituntut mengerjakannya itu berakibat pada penegakkan hukum syara’, atau yang dituntut meninggalkannya itu berakibat pada penyia-nyiaan hukum syara’, maka tuntutan itu adalah tuntutan yang tegas.
Dan Rasululloh saw bersabda:
كَانَتْ بَنُوْ إِسْرَائِيْلَ تَسُوْسُهُمُ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَتَكُوْنُ خُلَفَاءُ تَكْثُرُ، قَالُوْا فَمَا تَأْمُرُنَا؟ قَالَ: فُوْا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ وَأَعْطُوْهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ . رواه مسلم عن أبي هريرة
“Dahulu kaum Bani Israil urusan politiknya selalu dipimpin oleh para nabi. Setiap ada nabi meningggal, maka akan diganti oleh nabi berikutnya. Sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku. Dan akan ada para khalifah yang banyak.” Mereka bertanya: “Apakah perintahmu kepada kami?” Beliau menjawab: “Penuhilah baiat (kepada khalifah) yang pertama, lalu yang pertama. Penuhilah kewajiban kalian terhadap mereka, karena sesungguhnya Allah akan menanyakan mereka tentang apa yang menjadi tanggung jawab mereka”. HR Muslim.
Metode Pengambilan Dalil:
Hadits ini sangat jelas bahwa orang-orang yang memimpin kaum muslim setelah Rasululloh SAW adalah para khalifah. Hadits ini berarti tuntutan menegakkan para khalifah. Sebagaimana Rasululloh saw telah menyuruh mentaati para khalifah dan memerangi siapa saja orang yang merebut kekhilafahannya. Dalam hal ini beliau bersabda:
مَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِّهِ وَثَمْرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنِ اسْتَطَاعَ، فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوْا عُنُقَ الْآخَرِ . رواه مسلم
“Barang siapa telah membaiat Imam (khalifah) lalu ia telah mengulurkan tangannya dan memberikan buah hatinya kepada Imam, maka taatlah ia kepadanya selagi mampu. Lalu ketika datang orang lain yang merebut (khilafah) nya, maka penggalah leher yang lain itu”. HR Muslim.
Hadis ini berarti perintah menegakkan khalifah serta menjaga khilafahnya dengan memerangi setiap orang yang merebutnya. Jadi perintah menaati imam adalah perintah menegakkannya. Dan perintah memerangi orang yang merebutnya adalah indikasi atas ketegasan menjaga kesatuan khalifah. Dan hadist-hadits yang lain yang terlalu panjang untuk disebutkan disini.
Ketiga; Ijmak Sahabat:
Sesungguhnya para sahabat rodliyallohu ‘anhum telah ijmak atas wajibnya menegakkan khalifah bagi Rasululloh saw setelah wafatnya. Mereka telah ijmak atas menegakkan khalifah bagi Abu Bakar, kemudian bagi Umar, kemudian bagi Utsman, setelah setiap satu dari mereka wafat. Pengokohan ijmak sahabat atas penegakkan khalifah itu benar-benar telah nyata, yaitu dari penundaan mereka terhadap pengebumian Rasululloh saw setelah wafatnya serta kesibukan mereka dengan mengangkat khalifah baginya. Padahal pengebumian mayat setelah wafatnya adalah fardlu. Mereka, para sahabat yang berkewajiban mengurusi Rasululloh saw dan mengebumikannya, sebagian dari mereka justru sibuk dengan mengangkat khalifah dan meninggalkan pengebumian Rasululloh saw, dan sebagian yang lain diam seribu bahasa dari kesibukan itu, dan mereka bersekutu dalam penundaan pengebumian itu selama dua malam padahal mereka mampu untuk ingkar dan mampu untuk mengebumikannya.
Sesungguhnya Rasululloh saw telah wafat pada hari Senin waktu dluha dan tidak dikebumikan pada malam Selasa dan siang hari Selasa di mana Abu Bakar telah dibaiat. Kemudian Rasululloh saw baru dikebumikan pada tengah malam Rabu, berarti pengebumian itu tertunda dua malam, dan Abu Bakar dibaiat sebelum Rasululloh saw dikebumikan.
Maka kondisi tersebut adalah ijmak atas kesibukan mengangkat khalifah dan meninggalkan pengebumian mayat. Dan kondisi itu tidak akan terjadi kecuali ketika mengangkat khalifah adalah lebih wajib daripada mengebumikan mayat. Dan juga para sahabat semuanya telah ijmak sepanjang kehidupan mereka atas wajibnya mengangkat khalifah serta perselisihan mereka atas seseorang yang akan dipilih sebagai khalifah, maka mereka sama sekali tidak berselisih atas menegakkan khalifah, tidak berselisih ketika Rasululloh saw wafat, dan tidak pula ketika setiap khalifah dari al-Khulafa’ ar-Rosyidin al-Mahdiyyin wafat. Maka ijmak sahabat adalah dalil yang jelas dan kuat atas wajibnya mengangkat khalifah.
Keempat; Kewajiban Menegakkan Agama Itu Menunjukkan Atas Kewajiban Menegakkan Khilafah (Qiyas) :
Sesungguhnya menegakkan agama dan menerapkan hukum-hukum syara’ pada semua urusan kehidupan dunia dan akhirat adalah fardlu atas kaum muslim, dengan dalil yang pasti sumbernya (qath’iy tsubut) dan pasti maknanya (qath’iy dilalah). Dan hal tersebut tidak dapat sempurna kecuali dengan penguasa yang memiliki kekuasaan. Sedangkan Kaidah Syara’ berkata: Maa laa yatimmu al-waajibu illa bihi fahuwa waajibun (Sesuatu yang perkara wajib tidak dapat sempurna kecuali dengannya, maka sesuatu itu wajib). Dengan demikian, dari sisi ini, juga mengangkat khalifah adalah fardlu.
Kesimpulan yang dapat diambil dari dalil-dalil diatas:
1. Menegakkan hukum-hukum (syariat) Islam secara total adalah wajib (fardlu).
2. Hukum-hukum (syariat) Islam itu tidak dapat ditegakkan secara total kecuali oleh negara.
3. Negara yang bisa menegakkan hukum-hukum (syariat) Islam secara total hanyalah khilafah.
4. Khalifah adalah kepala negara dalam sistem khilafah, dimana ketika dikatakan menegakkan khalifah, maka juga dapat berarti menegakkan khilafah, atau sebaliknya.
5. Khilafah adalah sarana (wasilah) untuk menegakkan hukum-hukum (syariat) Islam secara total.
6. Meskipun khilafah adalah sarana, tapi keberadaannya telah ditetapkan oleh asy-Syaari’ (Pemilik syari’at), melalui sejumlah hadits yang diantaranya telah saya tuturkan diatas, juga menjadi ijma’ sahabat dan para ulama mujtahid setelahnya, maka wajib diikuti.
7. Ketika khilafah telah menjadi sarana yang wajib diikuti, maka khilafah menjadi metode baku yang tidak boleh diganti dengan bentuk negara yang lain.
8. Sistem khilafah adalah sistem negara kesatuan.
Apalagi ketika dikaitkan dengan dalil-dalil terkait kewajiman menjauhi thaghut, kewajiban ber-Islam kaffah, kewajiban meneladani dan mengikuti Rasulullah saw, kewajiban mengambil sunnah Rasulullah saw dan sunnah para khalifah yang rasyid dan mahdi, keharaman tasyabbuh (meniru-niru) dengan kaum kuffar dan kaum musyrikin, maka hanya khilafahlah satu-satunya bentuk negara yang bisa menegakkan semuanya itu. Sedang bentuk negara selain khilafah adalah utopis dan mustahil bisa menegakkannya. Arab Saudi yang telah disebut-sebut sebagai contoh bentuk negara Islampun tidak bisa memenuhi dua kriteria pada hadits berikut:
إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ . رواه مسلم عن أبي هريرة
“Sesungguhnya Imam (khalifah) adalah perisai di mana (mereka) berperang dari belakangnya dan berlindung dengannya”. HR Bukhari dan Muslim.
Imam sebagai perisai artinya adalah imam yang memenuhi dua karakter sekaligus; (1) kaum muslim berperang dari belakangnya, artinya imam sebagai komando dan pemimpin jihad, baik jihad defensif maupun jihad offensif, dan imam yang memanggil dan mengumpulkan kaum muslim untuk berjihad, dan (2) kaum muslim berlindung dengannya, artinya imam yang melindungi kaum muslim diseluruh dunia, karena kaum muslim diseluruh dunia adalah bersaudara.
Pertanyaannya, kapan Raja Arab Saudi memanggil, mengumpulkan kaum muslim di seluruh dunia untuk berjihad, dan kapan ia mengomando dan memimpin langsung jihad? Dan kapan ia melindungi kaum muslim yang terzalimi di berbagai belahan dunia, terutama yang lebih dekat darinya? Jadi kerajaan Arab Saudi saja tidak memiliki kriteria imam sebagai perisai, apalagi bentuk negara yang lain, tentu lebih jauh. Dan yang dimaksud dengan khilafah disini adalah khilafah ala minhajin nubuwwah, atau khilafah rasyidah mahdiyyah, bukan khilafah ala minhajil muluk. Dan khilafah inilah yang dakwahnya telah menyelimuti dunia, termasuk tanah air kita ini.
Komentar
Posting Komentar